Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2011

Natal Kali Ini

Sekarang sudah tanggal 26 Desember, Natal sudah lewat 14 menit yang lalu. Tamu-tamu yang tadi memenuhi ruangan sepertinya sudah berselimut dan berkelana di mimpi masing-masing. Lampu kelap kelip di pohon natal sekarang menyala sendirian, canda tawa yang tadi menemaninya sudah hilang ditelan malam. Di kamar, saya berusaha menyimpan memori hari ini dalam tulisan agar tidak menguap seiring berlalunya hari. Natal kali ini terasa berbeda dari natal kemarin. Yah, tentu saja setiap tahun pasti akan terasa tidak sama. Orang datang dan pergi, hiasan gantung juga terus berganti, apalagi menu makanan yang tersaji. Tapi rasanya ada hal lain yang membuat saya terusik untuk merekam Natal kali ini dalam tulisan. Ini Natal pertama yang saya habiskan dengan beberapa anggota keluarga baru. Lucu, ketika tanpa sadar dalam kejapan mata, orang yang sama sekali asing bagi kita kemarin, sekarang sudah menjadi bagian di silsilah yang sama.  Ironis juga, ketika ternyata kehadiran mereka tidak mengubah

Itu Saja

Saya ingin menjadi ada Memiliki wujud, memiliki rupa Tidak hanya sekadar nama, tapi juga punya maknanya Tidak hanya sekadar aksara, tapi juga terangkai dalam kata Lalu menjadi cerita Saya ingin menjadi ada Yang bukan hanya sekadar karena terbiasa Saya ingin menjadi ada Itu saja -bukan untuk siapa-siapa, murni asal belaka

Pasti..

Mungkin saya tidak bisa melihat segelap apa di sana. Apa sehitam antariksa? Atau terang tapi berdebu seperti jalanan Jakarta berasap Kopaja? Saya mungkin tidak bisa merasakannya juga. Saya cuma bisa berasumsi, memberdayakan segala emosi, berempati, mencoba menempatkan diri di posisi yang sama seperti yang kini kamu hadapi. Maaf, saya mungkin sok tahu untuk berusaha tahu menjadi kamu.  Mungkin presensi saya tak berarti, tapi setidaknya saya di sini. Izinkan saja telinga saya mendengarkan keluh dan amarah. Atau sekedar helaan napas jika vokal dan konsonan tak mampu berkolaborasi menyampaikan emosi. Mungkin ini rasanya seperti saat dini hari. Semakin dingin, gelap, hingga sampai di titik hitam paling pekat. "The night is darkest just before the dawn", Harvey Dent berujar. Tetaplah kuat, sayang. Pasti, matahari akan terbit kembali.

Obsession

Kakak saya bilang, "wisata kuliner itu adalah gabungan wisata alam dan budaya. Alam menentukan bahan apa yang dipakai di masakan itu, dan budaya menunjukkan bagaimana makanan tersebut diolah sedemikian rupa." Brilian menurut saya. Ternyata, kesukaan pada makanan itu memang sudah mendarah daging di keluarga. Beruntung, kami punya kesempatan menikmati berbagai macam makanan. Setiap kami pergi, nggak ada hal lain yang kami lakukan selain makan. Jadi ya wajar aja kalo kalian ikut keluarga saya pergi, pasti ya makan lagi makan lagi :D Nah, kalo saya cerita ke teman-teman saya tentang apa yang saya makan, nggak sedikit yang masih terheran-heran. Entah karena makanan tersebut yang kelihatannya terlalu 'ajaib' atau ya karena mereka nggak pernah menemukan itu di pasaran modern sekarang. Dimulai dari situlah saya terdorong untuk bikin blog ini. Rasanya saya semangat banget pengen nunjukin ini lho yang namanya "..." dan rasanya tuh gini lho.. Oh, dan untuk konsist

Iya, kan?

Saya dan dia bertemu dengan pakaian yang berbeda. Saya percaya ini pakaian terbaik saya. Begitu juga dengannya, yang punya keyakinan kuat bahwa itu pakaian terbaik untuknya. Tidak ada yang memaksa siapa harus berpakaian seperti apa. Kami dipertemukan. Bukan kebetulan, kan? Saya dan dia berjalan ke arah yang sama. Saling menyamakan kecepatan. Supaya seiring, supaya dapat melangkah bersebelahan. Mungkin irama langkah kami berbeda. Mungkin saya memulai dengan kaki kiri dan ia mulai dengan kaki kanan. Mungkin sebaliknya. Tapi kami berdampingan. Sejalan. Searah. Tidak masalah, kan? Apa salah kalau saya dan dia tidak sama? Apa salah kalau berbeda tapi bersama?

Jalan Lain

Beberapa waktu yang lalu saya seperti disadarkan kalo emang jalan setiap orang berbeda. Klise, tapi emang setiap orang punya talent yang nggak sama.. Dalam konteks ini, yang saya bicarakan adalah jalan karier yang nggak lama lagi akan saya tempuh. Sebagai mahasiswa di sekolah bisnis, pastilah (hampir) semua orang berpikir kami akan mendirikan suatu bisnis dan menjadi pengusaha. Paradigma itu jugalah yang menghampiri pikiran saya sampai dengan sekarang. Rasanya kok gagal banget ya kalo mahasiswa bisnis kok nggak bisa bisnis.. Tapi fyi, di sekolah saya itu ada sedikit kecenderungan umum. Mereka yang aktif di bidang akademis dan organisasi, ternyata belum tentu berhasil di bisnisnya. Begitu juga sebaliknya. Tapi nggak jarang juga ada yang bisa bagus di semua bidangnya. Itulah yang kemudian membuat saya sempet minder. Ngeliat sodara-sodara dan temen-temen lain, yang juga bersekolah di tempat yang lain, kok kayaknya iri ya mereka bisa meraih sukses ini itu. Entah kakak saya yang produkny

The clock is ticking

Dan sekarang saya sadar bahwa umur saya dalam beberapa hari akan mendekati kepala dua. Kepanikan yang saya rasakan pasti sama dengan temen-temen seangkatan dan orang-orang lain yang telah melewati fase ini. Sebagian kita panik, belum melakukan apapun padahal hidup udah seperlima abad. Tapi kemudian ada tiga tipe orang yang muncul setelah benar-benar menginjak umur 20: 1. Mereka yang panik, membuat plan, dan langsung melakukan hal-hal untuk membuat hidupnya makin berarti di usia kepala dua ini 2. Mereka yang panik, membuat plan, dan setelah itu hanya menganggap: "ah, ternyata umur 20 biasa aja, kok" 3. Mereka yang menganggap kita yang panik ini berlebihan dan berkata: "apalah arti angka?" Buat saya, angka itu penting. Itu menunjukkan apa saja yang telah saya habiskan selama 19 tahun ke belakang dan kemudian ada satu hal yang saya sadari: I always play safe and do not like risks . Dari seluruh keputusan yang saya ambil, seperti tentang ingin i

Membuka Kembali Jendela Dunia

Saya lupa bagaimana serunya membaca (buku). Menelusuri kata demi kata, membayangkan suasana dan membiarkan imajinasi terkuak tanpa terkendali. Tidak peduli perut lupa diisi nasi, atau ternyata sinar matahari sudah berganti dengan cahaya elektronik, halaman demi halaman masih menanti untuk dijelajah. Rasanya, memberhentikan diri sejenak untuk sekedar mengambil air itu seperti menyia-nyiakan petualangan di antara huruf cetakan berspasi rapat. Saya lupa, bagaimana saya bisa membayangkan diri menjadi orang yang lain ketika terlibat penuh dalam cerita yang saya baca. Tak jarang, emosi ikut terbangun seiring alur cerita berjalan. Bahkan saya terkadang lupa bahwa saya masih berada di ruangan di dalam rumah. Pikiran saya sudah berkeliling ke seluruh dunia melintasi kota-kota yang ada dalam lembaran hidup si pemeran tokoh utama. Dan satu buku ini telah kembali mengingatkan saya bahwa jejaring sosial dan dunia maya tidak akan pernah bisa mengalahkan mantra sastra. Barisan huruf cetakan rap

Satu Tahun Kemarin

Menjadi bagian dari suatu perkumpulan pasti rasanya menyenangkan. Ada satu kebanggaan ketika saya bisa memberikan apa yang saya mampu, dan berbagi semua bersama. I'm just feeling.. useful. Satu tahun dengan tim yang luar biasa, duapuluh tiga orang yang luar biasa dengan karakter yang beda-beda udah pasti nggak segampang itu. Yah, tapi itulah yang namanya pendewasaan. Dealing with people (and also: DEADLINE!) Dan itu adalah hal yang selalu jadi tantangan berat buat saya, dan mungkin buat sebagian dari kita juga : menekan ego masing-masing, mencoba membawa ide menjadi realita dengan sumber daya yang terbatas. Pengalaman satu tahun kemaren itu bener-bener pengalaman yang berharga banget buat saya. Berharga, karena dengan apa yang saya jalanin kemaren, saya jadi bisa lebih mengerti apa arti sebuah komitmen . Satu kata yang nggak bisa dideskripsikan dengan kalimat karena cuma bisa dibuktikan dengan tindakan. Satu kata yang memaksa saya untuk tetap menyelesaikan semua sampa

Pilihan

Membicarakan pilihan emang nggak pernah gampang, terutama buat orang yang kebanyakan mikir kayak saya. Dan ya beginilah, rasanya tiap saat ketemu orang pengen diskusi, tapi ketika mereka ngasih pandangan pilihan A, saya bersikeras memilih B. Ketika saya didukung untuk memilih B, saya ragu. Hingga akhirnya kemarin, di tengah makan malam keluarga hari Minggu, muncullah pembicaraan mengenai ini. Dan beginilah ibu saya berkata: "Nantinya hidup itu emang bukan lagi masalah suka nggak suka. Mau pilih yang mana itu sama aja. Intinya adalah gimana kamu survive di situ, karena pasti ada aja hal yang kamu nggak suka dari setiap jalan yang kamu pilih." Dan beginilah kakak saya menanggapi: "Pokoknya jangan kebanyakan mikir. Nggak maju-maju ntar, nggak yakin-yakin karena hampir yakin yang ini lu bakal balik lagi mikir ke awal." Yah semoga saya diberi pencerahan.

Mungkin?

Mungkin begitulah, ada sebagian kita yang punya mimpi dan memilih untuk mengejarnya dari sekarang. Melakukan segala cara untuk menemukan jalan terdekat. Menutup mata dari pandangan dan pendapat orang-orang. Mengetahui dengan pasti apa yang harus dilalui dan rute mana yang harus dipilih. Dan ada sebagian kita ada yang terjebak di jalur yang berbeda dari harapan semula. Bisa jadi kita memang memutuskan exploring dunia baru dan menghadapi apa saja yang ada di depan kita dengan berani. Bisa jadi, cita-citanya memang berubah. Tapi ada juga yang menjebak diri karena nggak punya keteguhan hati untuk menentukan sendiri. Mereka nggak pernah berhenti bertanya. 'Harus ke mana?' 'Kenapa ke sana?' dan berbagai tanda tanya lainnya. Padahal, belum tentu juga ada yang bisa menjawabnya, karena sebenarnya hal itu harusnya dijawab oleh dirinya sendiri. Siapa yang tau mimpi kita apa? Siapa yang ngerti kita mau hidup yang kayak gimana? Ya cuma kita sendiri. Udah tau gimana cara ke sana? Uda

Demotivasi 2

Saya masih dalam kondisi putus asa yang sama ketika saya menulis post sebelum ini. Tapi setidaknya, hari ini saya seperti dicurahkan berbagai nasihat, pembenaran, dan 'jendela-jendela' lain yang dibukakan untuk saya. "Experience is what you get when you didn't get what you wanted" - Randy Pausch Ini adalah suatu kutipan dari sebuah video tentang mewujudkan mimpi. Mungkin, ketika kita berpikir kita ada di tempat yang salah, seenggaknya kita pernah ngerasain bagaimana berada di situ. Dan kemudian kita punya pilihan, berputar arah atau tetap melanjutkan. Siapa tau sebenarnya ini tempat yang tepat, tapi kita nggak pernah tau kan? "Wait long enough and people will surprise you. When you got piss off with somebody, that's because you didn't give them enough time" - Randy Pausch Masih dari video yang sama, kutipan ini menendang satu aspek kehidupan saya yang lain. Yah, kutipan itu sudah menjawab semuanya kan? "Rambut boleh sama hitam, tapi nasib b

Belajar Berdiri

Ah.. siapa saya yang mencoba berdiri menantang langit di atas sana. Sepertinya ini tamparan besar setelah merasa selalu benar dan sok tahu hingga pada akhirnya sekarang terpaku di jalan yang seakan buntu. Ya, saya bilang seakan karena terkadang sering ada keajaiban di mana tiba-tiba muncul pintu keluar yang terbuka entah dari mana. Atau sebenarnya pintu itu memang ada, namun mata saya sedang kalut dalam kesombongan dan tertutup? Dan begitulah seperti manusia pada umumnya, sekarang saya cuma bisa bertanya dan meminta. Lagi. Dan lagi. Meminta ditunjukkan jalan oleh-Nya, meminta diberi kekuatan dari-Nya, meminta dipermudah jalannya. Nggak tau diri. Tapi saya nggak tau lagi. "Why do we fall? So we learn to pick ourselves up" Tiba-tiba kata-kata Alfred yang ditujukan untuk tuannya itu terngiang-ngiang di kepala. Mencoba menampar saya untuk menjejakkan kaki dan mencoba berdiri lagi. Ughh.. Susah. Tenaga saya habis. Tapi mana cukup waktu kalau saya cuma men

Kita, Sempurna

Kadang, kita terlalu berusaha menjadi sempurna Berusaha menjadi apa yang diharapkan, memberi apa yang diinginkan, menjadi jawaban apa yang diminta Sayangnya, kita kemudian kecewa ketika kerja keras kita sia-sia Apa yang kita pikir sudah yang terbaik ternyata belum cukup baik Dan selalu, tidak akan pernah cukup.. Selalu merasa salah Selalu merasa kalah Yah.. pada akhirnya kita akan selalu lelah Tapi kita nggak bisa menyalahkan siapa-siapa Karena mata kita bukan mata mereka Apa yang dilihat tentu saja akan berbeda Mungkin saja saya melihat biru dan kamu melihat merah Di sisi lain ada orang yang melihatnya ungu karena ia berada di tengah Sekarang tergantung darimana kita melihatnya, apakah itu kekurangan atau keunikan apakah itu perubahan atau kepalsuan Karena kesempurnaan tak akan pernah ada Dan ketika kita ingin menjadi sempurna, berarti ingin menjadi tidak ada 8 Maret 2011 untuk saya dan semua perempuan Selamat Hari Perempuan Sedunia :) (terinspirasi dari tweet @mrskurtcher )

Satu yang sama

Saya bukan seorang yang sangat religius. Kewajiban-kewajiban yang harus saya penuhi sebagai penganut agama yang taat sejujurnya bahkan belum bisa saya jalankan semua. Kebanyakan alasannya adalah faktor M (=malas) yang menguasai diri saya sehingga menggerakkan hati sedikit untuk itu kok ya.... susah banget. Tapi saya selalu percaya, ada kekuatan besar di Atas Sana yang menggerakkan alam semesta kita. Ada yang menyebut-Nya Allah, Allah Bapa, Tuhan, dan sebagai macamnya. Yang pasti, saya selalu mempercayai Dia Yang Berkuasa Di Sana Hanyalah Satu Dia yang kita percaya.. Iya, saya percaya kita semua sama. Iya kan? Kenapa harus membedakan diri? Saya dan kamu.. Nggak ada bedanya kan?

Summary

"Dasar lugu lo" -S.A.N "Dunia nggak se naif itu kali" - F.I "Lo tuh polos bener. Kayak mie ayam nggak pake ayam..."" -P.S "...bahkan nggak pake mie, mangkok doang!" -L.S.M
Dalam sebuah kompetisi, akan selalu ada yang menang dan kalah. Itu namanya mutlak, hukum alam, nggak bisa diganggu gugat. Dan biasanya untuk membesarkan hati ke yang kalah, kemudian akan muncul nasihat yang berbunyi "yang penting bukan menang atau kalahnya, yang penting kita udah kerja semaksimal yang kita bisa". Mungkin menjadi kalah itu emang nggak buruk. Yang bikin itu terasa buruk ketika yang kalah nggak bisa menerima kekalahannya. Biasanya, setelah luapan kemarahan dan kekecewaan muncul (ada yang menyumpah serapah, ada yang menghabiskan air mata, ada yang menyalahkan sekitarnya), pertanyaan-pertanyaan akan muncul. Pertanyaan dimulai dengan kata "kenapa", dan diikuti dengan subjek: si yang kalah itu sendiri dan si pemenang. Kenapa saya kalah? Kenapa dia yang malah menang? Kenapa saya nggak pernah menang? Mungkin itu teguran, biar nggak sombong. Seenggaknya jadi tau bahwa kerja keras yang udah dilakukan belum cukup untuk memperoleh hasil ya

Hentakan Singkat

Samuel Mulia dengan cerdasnya berhasil lagi menghentak akal pikir saya. 1) Bahwa manusia itu tempat bertemunya sifat positif DAN negatif, bukan atau. Kalo gitu, memang setiap orang berhak punya sifat negatif dan positif kan? Kalo gitu, kenapa kita susah untuk menerimanya? 2) Bahwa kejadian buruk yang terjadi itu cobaan yang bisa menguatkan kita untuk jadi lebih baik. Tapi kenapa kita lebih suka meminta untuk dimudahkan jalannya, bukan dikuatkan kitanya? 3) Bahwa janganlah kecewa ketika orang yang sangat kita percaya ternyata bertindak buruk.. Karena memang cuma Yang Satu yang bisa dipercaya. berdasarkan rubrik Parodi, Kompas 9 Januari 2010