Langsung ke konten utama

Membuka Kembali Jendela Dunia


Saya lupa bagaimana serunya membaca (buku). Menelusuri kata demi kata, membayangkan suasana dan membiarkan imajinasi terkuak tanpa terkendali. Tidak peduli perut lupa diisi nasi, atau ternyata sinar matahari sudah berganti dengan cahaya elektronik, halaman demi halaman masih menanti untuk dijelajah. Rasanya, memberhentikan diri sejenak untuk sekedar mengambil air itu seperti menyia-nyiakan petualangan di antara huruf cetakan berspasi rapat.

Saya lupa, bagaimana saya bisa membayangkan diri menjadi orang yang lain ketika terlibat penuh dalam cerita yang saya baca. Tak jarang, emosi ikut terbangun seiring alur cerita berjalan. Bahkan saya terkadang lupa bahwa saya masih berada di ruangan di dalam rumah. Pikiran saya sudah berkeliling ke seluruh dunia melintasi kota-kota yang ada dalam lembaran hidup si pemeran tokoh utama.

Dan satu buku ini telah kembali mengingatkan saya bahwa jejaring sosial dan dunia maya tidak akan pernah bisa mengalahkan mantra sastra. Barisan huruf cetakan rapi, suara gemersik kertas yang beradu dengan jari, kepanikan mencari kertas pembatas, masih nggak ada duanya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemanasan

Sebentar lagi kuartal kedua akan dimulai. Saya lupa saya punya ruang ini, tempat di mana saya bicara sendiri dengan sedikit berharap ada pembaca mengerti tapi pura-pura tidak peduli dan tidak perlu dikonfrontasi. Ironis memang; sengaja membuka eksistensi tapi tidak percaya diri, memilih untuk ditemukan dalam ranah maya tapi memilih berkisah dalam metafora. Lalu kemudian saya menulis ini, memilih cara begini dengan membagi prosa dalam spasi menjadi seakan puisi. Padahal, isinya hanya rangkaian kalimat tak berinti, tumpahan kata yang sulit berhenti, tapi terlalu sayang untuk disimpan dalam hati. ------------------------------------ Dua hari sebelum kuartal satu ditutup Rumah, 2016

Menantang Hujan

Selama ini ia benci Hujan. Ia beli payung berbagai ukuran, jas hujan dengan warna menawan,  sepatu anti air dengan kualitas tak diragukan. Lalu kemudian Hujan tidak datang selama beberapa pekan. Sial, lalu apa gunanya semua perlengkapan? Ia pikir ia benci Hujan. Memang, tapi bukan dalam bentuk "tanpa pertemuan". Ia perlu Hujan. Untuk dilawan. _____________________________________ Kebon Sirih, 27 Februari 2015 di penghujung musim penghujan

Teruntuk Rumput

Teruntuk Rumput di sana, semoga tetap sedia untuk berjalan bersama. Salam, Embun ______________________________________________ Pada suatu hari Rumah, 24 Januari 2015