Langsung ke konten utama

The clock is ticking

Dan sekarang saya sadar bahwa umur saya dalam beberapa hari akan mendekati kepala dua. Kepanikan yang saya rasakan pasti sama dengan temen-temen seangkatan dan orang-orang lain yang telah melewati fase ini.
Sebagian kita panik, belum melakukan apapun padahal hidup udah seperlima abad. Tapi kemudian ada tiga tipe orang yang muncul setelah benar-benar menginjak umur 20:
1. Mereka yang panik, membuat plan, dan langsung melakukan hal-hal untuk membuat hidupnya makin berarti di usia kepala dua ini
2. Mereka yang panik, membuat plan, dan setelah itu hanya menganggap: "ah, ternyata umur 20 biasa aja, kok"
3. Mereka yang menganggap kita yang panik ini berlebihan dan berkata: "apalah arti angka?"
Buat saya, angka itu penting. Itu menunjukkan apa saja yang telah saya habiskan selama 19 tahun ke belakang dan kemudian ada satu hal yang saya sadari: I always play safe and do not like risks.
Dari seluruh keputusan yang saya ambil, seperti tentang ingin ikut les, ekskul, memilih jurusan, memilih sekolah, ikut lomba, sampai keputusan kecil seperti memilih makanan dan membeli baju dan sepatu, hampir 80% yang saya pilih adalah sesuatu yang pernah saya lakukan sebelumnya atau orang terdekat saya pernah lakukan. Tapi bukan berarti saya tidak pernah mencoba mengambil risiko lho.
Sampai usia 19 tahun lebih 11 bulan beberapa hari ini, ada tiga keputusan terbesar dalam hidup yang saya pernah saya ambil:
1. Saya memilih untuk bersekolah di SMA negeri
Budayanya ternyata emang beda banget sama yang pernah saya rasakan selama sekolah dari TK sampai SMP (dan kuliah). Apalagi, di keluarga, cuma saya satu-satunya yang sekolah di negeri. Perjuangan sekolah di sini nggak cuma saya yang ngerasain (belajar gila-gilaan, pulang malem, menghadapi heterogenitas yang super variatif) tapi juga sama orang tua dan adek kakak saya (nganterin bolak balik ciputat-tebet, nggak bisa banyak liburan, dan kena omelan kalo saya lagi stres, hehe). Makanya sekarang sering banget masih muncul "kok bisa ya milih di sana?". Well, saya juga nggak tau. Tapi yang pasti, pengalaman tiga tahun di sini itu sangat unik dan nggak bisa dibandingin sama pengalaman remaja lain yang bersekolah di tempat yang lain :) Anyway, I miss my IPABarbarians dan para sahabat...
2. Saya memilih untuk tidak mengambil kesempatan kuliah di universitas negeri
Ini juga termasuk keputusan berisiko besar, apalagi jalur saya yang SMA di negeri.. kok abis itu ngelepas negeri dan milih ke swasta? Saya tau apa yang saya pilih mungkin beda sama yang diharapkan orang-orang. Saya juga ngerasain kok, belajar gila-gilaan selama SMA, terutama di tahun ketiga demi ujian masuk perguruan tinggi. Masih inget banget gimana selama semester dua itu saya dan temen-temen sekelas udah nggak dengerin guru ngajar, tapi sibuk ngerjain soal SNMPTN tahun lalu. Saya juga inget, kita juga jarang keluar istirahat makan siang dan milih untuk belajar. Bahkan kita cabut kelas bukan untuk main, tapi untuk ke BTA dan belajar di sana. Itu pengalaman yang nggak pernah saya lupakan dan saya bangga akan itu haha.
Selain itu, saya juga kecewa banget waktu saya ditolak. Rasanya perjuangan saya sia-sia. Ada juga rasa iri akan keberhasilan teman-teman yang lain.. Tapi kemudian saya juga senang banget pas bisa mendapat kesempatan masuk di universitas negeri paling favorit di muka bumi Indonesia ini, meskipun di jurusan pilihan ketiga.. Tapi kemudian saya sadar kayaknya tempat saya bukan di pilihan ketiga itu. Dan terbukti, sekarang saya tidak menyesal untuk banting setir gila-gilaan berkuliah di sini, sekolah bisnis yang masuk dalam sekolah bisnis terbaik di Indonesia :)
3. Saya memilih untuk mencoba mencalonkan diri dalam pemilihan umum di kampus
Ini juga pengalaman yang saya sampe heran kok waktu itu saya berani ikutan ginian. Padahal siapa saya, nggak kenal siapa-siapa juga. Dan risiko terbesar yang saya pikirkan ternyata menjadi kenyataan. Saya kalah di pemilihan itu dan saya malu, sampai sekarang sebenernya. Beberapa saat saya down, dan itu semua tertulis di beberapa post sini. Tapi itulah yang kemudian membuat saya menjadi belajar dan bisa menjadi bagian dari organisasi kampus. Yah, seperti yang saya tulis di sini.
Ada lah.. beberapa "what ifs" yang muncul, yang kadang kalo saya down banget saya mikir kenapa saya melakukan itu. Tapi kalo lagi mikir sendiri, justru itu yang membuat saya bisa seperti sekarang kan? Buktinya saya bisa survive berada di tempat yang keras, menemukan hal menarik di tempat yang baru, dan memperoleh hal positif dari kekalahan. Ternyata, emang bener, berani ambil risiko itu membuka mata kita untuk melihat sisi lain dari dunia.
Oleh karena itu, untuk resolusi ulang tahun kali ini, atau yang kemudian saya sebut resolusi kepala dua, saya cuma pengen saya mulai berani melakukan apa yang sebelumnya tidak berani saya lakukan. The clock is ticking. Mau sampe kapan lagi saya nunggu untuk melakukan itu? Iya kan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

What do you think

S aya baru sadar kalo saya ternyata sangat gampang kebawa trend. No, no, I don't mean fashion and those kinda stuffs. What I mentioned here is: cyber-social network . Looks familiar, huh? Zaman sekarang rasanya eksistensi orang nggak cuma diitung dari panjangnya meja kantin yang mereka butuhin buat makan bareng se-geng nya ( notes: no offense ), atau banyaknya vote dari adek kelas pas polling majalah sekolah "kakak ter-...". Keberadaan di dunia maya juga dipertanyakan. Coba deh, kalo ada yg kenalan, pasti nggak berapa lama bakal nanya: " punya facebook nggak? " atau " ada msn nggak? " Jawaban negatif dari pertanyaan ini bakal mengundang pemikiran yang setara dengan: " hari gini nggak punya handphone? " Pergaulan sekarang udah meluas. Dulu orang cari temen lewat surat, cari sahabat pena. Beberapa waktu kemudian, HP udah jadi pegangan wajib bahkan merambah ke babysitter dan anak TK. Pacaran pun dimulai dengan kenalan lewat sms-an. Seka...

Hujan

Hujan bukan cuma punya langit. Dingin bukan cuma punya malam. Malam ini hujan lagi, deras. Dingin lagi menggigit, menggigil. Percuma diri berpayung, hujan sendiri lebih deras. Lebih dingin, lebih pekat dari gelap. Jakarta, 01 Feb 09

Painter of Life

img searched in Google saya baru baca notes dari temen SMP saya , namanya Vincent. Tapi kita manggil dia Opaz. I won't talk about him but the notes itself. saya copy aja yaa: "Suatu hari ada pelukis yang sedang menyelesaikan gambarnya di atap suatu gedung tinggi. Lukisannya sangat indah, menggambarkan pemandangan langit dan seisi kota. Di sekitarnya juga ada orang-orang lain yang ikut melukis. Mereka juga mengagumi kepiawaian sang pelukis tadi. Ketika gambar sang pelukis hampir jadi, ia mundur untuk melihatnya dari jauh. Mundur, mundur, semakin lama semakin jauh. Ia tidak sadar bahwa selangkah lagi ia bisa terjatuh dari gedung tinggi itu. Seseorang yang sedang memperhatikan lukisannya tersadar akan bahaya tersebut. Namun ia berpikir, jika ia berteriak siapa tahu justru sang pelukis akan terjatuh karena kaget. Oleh karena itu ia mengambil kuas dan mencoret-coret lukisan sang pelukis. Tentu saja sang pelukis marah, ia pun berlari dan hampir memukul orang itu. Tapi setelah t...