Langsung ke konten utama

Obsession

Kakak saya bilang, "wisata kuliner itu adalah gabungan wisata alam dan budaya. Alam menentukan bahan apa yang dipakai di masakan itu, dan budaya menunjukkan bagaimana makanan tersebut diolah sedemikian rupa." Brilian menurut saya. Ternyata, kesukaan pada makanan itu memang sudah mendarah daging di keluarga. Beruntung, kami punya kesempatan menikmati berbagai macam makanan. Setiap kami pergi, nggak ada hal lain yang kami lakukan selain makan. Jadi ya wajar aja kalo kalian ikut keluarga saya pergi, pasti ya makan lagi makan lagi :D

Nah, kalo saya cerita ke teman-teman saya tentang apa yang saya makan, nggak sedikit yang masih terheran-heran. Entah karena makanan tersebut yang kelihatannya terlalu 'ajaib' atau ya karena mereka nggak pernah menemukan itu di pasaran modern sekarang. Dimulai dari situlah saya terdorong untuk bikin blog ini. Rasanya saya semangat banget pengen nunjukin ini lho yang namanya "..." dan rasanya tuh gini lho.. Oh, dan untuk konsisten dengan keinginan saya sharing, foto-foto yang dipakai pun asli dari kamera saya sendiri :) 

Dan kenapa harus buat akun baru dari blog sebelah? Yah, supaya konsisten aja tema blognya nggak campur-campur... Tapi kayaknya faktor lain pendorongnya adalah salah satu 'penyakit' saya akan media sosial deh haha.

Anyway, silakan mengunjungi :)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

What do you think

S aya baru sadar kalo saya ternyata sangat gampang kebawa trend. No, no, I don't mean fashion and those kinda stuffs. What I mentioned here is: cyber-social network . Looks familiar, huh? Zaman sekarang rasanya eksistensi orang nggak cuma diitung dari panjangnya meja kantin yang mereka butuhin buat makan bareng se-geng nya ( notes: no offense ), atau banyaknya vote dari adek kelas pas polling majalah sekolah "kakak ter-...". Keberadaan di dunia maya juga dipertanyakan. Coba deh, kalo ada yg kenalan, pasti nggak berapa lama bakal nanya: " punya facebook nggak? " atau " ada msn nggak? " Jawaban negatif dari pertanyaan ini bakal mengundang pemikiran yang setara dengan: " hari gini nggak punya handphone? " Pergaulan sekarang udah meluas. Dulu orang cari temen lewat surat, cari sahabat pena. Beberapa waktu kemudian, HP udah jadi pegangan wajib bahkan merambah ke babysitter dan anak TK. Pacaran pun dimulai dengan kenalan lewat sms-an. Seka...

Drama queen

Beberapa waktu yang lalu, temen sekelas saya, Nia, membuat notes di Facebook. Maaf saya nggak punya url nya, tapi ini sedikit repost dari apa yang dia tulis di situ. "Kita itu aneh, kita nggak suka untuk jadi sedih tapi kita menikmati itu. Bisa dibilang kita sering memanjakan sisi melankolis kita dan mendramatisasi semuanya. Pas kita abis putus, kita justru sengaja ngeliatin foto-foto bareng mantan pacar, ngeliatin barang kenangan, dengerin lagu mellow. Kita ngelakuin hal yang kita tau bakal bikin kita tambah sedih, tapi tetep aja kita ngelakuin hal itu. Kita menikmatinya !" Yaa begitulah kira-kira beberapa kalimat yang merangkum notes tersebut. Nggak persis sama sih, tapi intinya begitu. Dan kemaren, saya abis ngobrol panjang dengan temen dekat saya. Dari dulu saya emang nggak punya kemampuan cukup untuk nahan air mata saya, jadi suatu kali ketika akhirnya saya nggak bisa nahan emosi, temen saya itu nanya "kenapa lo harus nangis kalo bikin lo tambah sedih, ...

Pemanasan

Sebentar lagi kuartal kedua akan dimulai. Saya lupa saya punya ruang ini, tempat di mana saya bicara sendiri dengan sedikit berharap ada pembaca mengerti tapi pura-pura tidak peduli dan tidak perlu dikonfrontasi. Ironis memang; sengaja membuka eksistensi tapi tidak percaya diri, memilih untuk ditemukan dalam ranah maya tapi memilih berkisah dalam metafora. Lalu kemudian saya menulis ini, memilih cara begini dengan membagi prosa dalam spasi menjadi seakan puisi. Padahal, isinya hanya rangkaian kalimat tak berinti, tumpahan kata yang sulit berhenti, tapi terlalu sayang untuk disimpan dalam hati. ------------------------------------ Dua hari sebelum kuartal satu ditutup Rumah, 2016