Langsung ke konten utama

Pemanasan

Sebentar lagi kuartal kedua akan dimulai.
Saya lupa saya punya ruang ini,
tempat di mana saya bicara sendiri
dengan sedikit berharap ada pembaca mengerti
tapi pura-pura tidak peduli dan tidak perlu dikonfrontasi.

Ironis memang;
sengaja membuka eksistensi tapi tidak percaya diri,
memilih untuk ditemukan dalam ranah maya tapi memilih berkisah dalam metafora.

Lalu kemudian saya menulis ini,
memilih cara begini dengan membagi prosa dalam spasi
menjadi seakan puisi.

Padahal, isinya hanya rangkaian kalimat tak berinti,
tumpahan kata yang sulit berhenti,
tapi terlalu sayang untuk disimpan dalam hati.

------------------------------------
Dua hari sebelum kuartal satu ditutup
Rumah, 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

What do you think

S aya baru sadar kalo saya ternyata sangat gampang kebawa trend. No, no, I don't mean fashion and those kinda stuffs. What I mentioned here is: cyber-social network . Looks familiar, huh? Zaman sekarang rasanya eksistensi orang nggak cuma diitung dari panjangnya meja kantin yang mereka butuhin buat makan bareng se-geng nya ( notes: no offense ), atau banyaknya vote dari adek kelas pas polling majalah sekolah "kakak ter-...". Keberadaan di dunia maya juga dipertanyakan. Coba deh, kalo ada yg kenalan, pasti nggak berapa lama bakal nanya: " punya facebook nggak? " atau " ada msn nggak? " Jawaban negatif dari pertanyaan ini bakal mengundang pemikiran yang setara dengan: " hari gini nggak punya handphone? " Pergaulan sekarang udah meluas. Dulu orang cari temen lewat surat, cari sahabat pena. Beberapa waktu kemudian, HP udah jadi pegangan wajib bahkan merambah ke babysitter dan anak TK. Pacaran pun dimulai dengan kenalan lewat sms-an. Seka...

Drama queen

Beberapa waktu yang lalu, temen sekelas saya, Nia, membuat notes di Facebook. Maaf saya nggak punya url nya, tapi ini sedikit repost dari apa yang dia tulis di situ. "Kita itu aneh, kita nggak suka untuk jadi sedih tapi kita menikmati itu. Bisa dibilang kita sering memanjakan sisi melankolis kita dan mendramatisasi semuanya. Pas kita abis putus, kita justru sengaja ngeliatin foto-foto bareng mantan pacar, ngeliatin barang kenangan, dengerin lagu mellow. Kita ngelakuin hal yang kita tau bakal bikin kita tambah sedih, tapi tetep aja kita ngelakuin hal itu. Kita menikmatinya !" Yaa begitulah kira-kira beberapa kalimat yang merangkum notes tersebut. Nggak persis sama sih, tapi intinya begitu. Dan kemaren, saya abis ngobrol panjang dengan temen dekat saya. Dari dulu saya emang nggak punya kemampuan cukup untuk nahan air mata saya, jadi suatu kali ketika akhirnya saya nggak bisa nahan emosi, temen saya itu nanya "kenapa lo harus nangis kalo bikin lo tambah sedih, ...

Bukan Video

Setiap orang pasti pernah menyesal, entah itu perkara besar atau hal yang sangat kecil. Dan biasanya penyesalan itu berasal dari hal yang kurang enak, yang kemudian menimbulkan perasaan bersalah dan nggak jarang juga menyalahkan diri sendiri. Saya termasuk orang yang sering menyesal. Bahkan dari hal yang kecil. Nggak jarang setelah saya mengucapkan suatu kata yang kurang berkenan (bukan cuma ungkapan kasar, tapi juga misalnya ketika saya menjawab pertanyaan orang dengan juteknya) saya pun menyesal beberapa detik kemudian. Begitu juga dalam keputusan besar, saya butuh waktu untuk meyakinkan diri kalo jalan yang saya ambil udah yang terbaik. Saya tau, semua orang juga tau, nggak enak rasanya ketika suatu kejadian yang udah lewat, masih terus berputar di kepala dan membuat suatu if statement. "coba gue waktu itu gini ..." atau "ah, kenapa sih gue harus gitu..." Nggak enak rasanya ketika suatu kesalahan yang udah diperbuat, terus ngejar-ngejar kita da...