Langsung ke konten utama

Why sky is the limit



Akan ada saatnya, kita sangat menginginkan sesuatu. Satu hal yang awalnya kita pikir mustahil. Bahkan mungkin kita tidak pernah terpikir untuk menginginkan hal itu.

Mimpi itu kita beri wujud, kita beri bentuk. Kita namai menjadi sesuatu yang memacu kita untuk berlari.

Kemudian mimpi itu kita gantung di langit. Ya, langit. Bukan langit-langit. Ini menjadikan kita semakin sadar, hal itu bukanlah hal yang bisa kita raih. Terlalu tinggi.
Seberapa tinggi? Tak tahu, bahkan tidak terukur..

Mimpi itu kemudian menjadi alasan mengapa kita belajar. Mimpi itu menjadi tujuan ke mana kita melangkah. Mimpi itu harusnya akan menjadi hadiah dari segala keringat yang harus kita keluarkan.

Sayangnya, kemustahilan itu kemudian menjadi penghalang. Tak jarang kita terjatuh saat mulai beranjak terbang. Tak jarang kita mengeluh saat mulai merasa lelah.

Tak jarang, kita menyerah di tengah perjalanan yang seakan tak pernah berakhir.

Tapi sadarkah kita,
ketika kita menggantungkan mimpi kita di langit, kita tidak pernah berjalan di dalam ruang yang kosong?

Kita bisa bertemu Bintang.

Menyentuh Awan.

Menyapa Burung-burung yang terbang berkeliaran.

Ikut mewarnai Pelangi.

Kalau beruntung, kita bisa bercengkerama dengan Bulan atau membuka percakapan dengan Matahari.

Ya, ini yang kita harus percaya: tidak ada hal yang sia-sia. Meski kita harus terhenti di satu tingkat atmosfer langit, tapi itu cuma sementara.
Mungkin kita hanya diminta istirahat karena terlalu lelah. Atau diminta meresapi pelajaran yang sudah diperoleh dan mengaplikasikannya dulu sebelum melanjutkan perjalanan.

Jangan berhenti terbang.

Komentar

nice tika.. aku suka sama blogmu yg ini. apapun masalah yang kamu hadapi, seberat apapun itu. terus maju, jangan pernah berhenti terbang. terus kejar cita-citamu.. :)
Mama Mochi mengatakan…
give 4 thumbs up!!!! like this like this! No! I love it!!
benedikta atika mengatakan…
terima kasih kak rangga dan yurica :) semoga bisa terus membantu mengingatkan untuk ga pernah nyerah ya hehe.

Postingan populer dari blog ini

Tour de Java

Akhirnya, I'm home! Ternyata kadang-kadang rumah bisa jadi sangat menyenangkan ya. Hehe. Jadi ceritanya saya baru pulang dari Jawa Tengah nih, niatnya kan cuma ke Solo menengok eyang, tapi ternyata perhentiannya banyak banget. Jadi di hari pertama saya berangkat dari Jakarta emang udah agak siang, jam 1an gitu. Saya sekeluarga emang udah biasa bermobil ke Solo, tapi untuk yang ini baru pertama kalinya kita lewat jalur selatan. Ternyata jalur selatan tuh beda banget sama Pantura. Jalannya kelok-kelok, bikin mual. Jarang ada toilet lagi, mana kalo gelap tuh ya beneran gelap dan berbahaya. Jadi yaaa.. susah deh pokoknya. Perhentian pertama kita adalah Purwokerto . Kami baru sampe hotel jam setengah 2an pagi setelah melewati perjalanan yang panjang sekali. Ngantuk banget, mual, bokap ngomel-ngomel pula. Lengkap deh capeknya. Niatnya siangnya kita mau ke Baturaden , tapi karena ternyata nggak sedekat yang kami kira, akhirnya abis breakfast kita langsung checkout dan menuju perhentian ke

What do you think

S aya baru sadar kalo saya ternyata sangat gampang kebawa trend. No, no, I don't mean fashion and those kinda stuffs. What I mentioned here is: cyber-social network . Looks familiar, huh? Zaman sekarang rasanya eksistensi orang nggak cuma diitung dari panjangnya meja kantin yang mereka butuhin buat makan bareng se-geng nya ( notes: no offense ), atau banyaknya vote dari adek kelas pas polling majalah sekolah "kakak ter-...". Keberadaan di dunia maya juga dipertanyakan. Coba deh, kalo ada yg kenalan, pasti nggak berapa lama bakal nanya: " punya facebook nggak? " atau " ada msn nggak? " Jawaban negatif dari pertanyaan ini bakal mengundang pemikiran yang setara dengan: " hari gini nggak punya handphone? " Pergaulan sekarang udah meluas. Dulu orang cari temen lewat surat, cari sahabat pena. Beberapa waktu kemudian, HP udah jadi pegangan wajib bahkan merambah ke babysitter dan anak TK. Pacaran pun dimulai dengan kenalan lewat sms-an. Seka

Drama queen

Beberapa waktu yang lalu, temen sekelas saya, Nia, membuat notes di Facebook. Maaf saya nggak punya url nya, tapi ini sedikit repost dari apa yang dia tulis di situ. "Kita itu aneh, kita nggak suka untuk jadi sedih tapi kita menikmati itu. Bisa dibilang kita sering memanjakan sisi melankolis kita dan mendramatisasi semuanya. Pas kita abis putus, kita justru sengaja ngeliatin foto-foto bareng mantan pacar, ngeliatin barang kenangan, dengerin lagu mellow. Kita ngelakuin hal yang kita tau bakal bikin kita tambah sedih, tapi tetep aja kita ngelakuin hal itu. Kita menikmatinya !" Yaa begitulah kira-kira beberapa kalimat yang merangkum notes tersebut. Nggak persis sama sih, tapi intinya begitu. Dan kemaren, saya abis ngobrol panjang dengan temen dekat saya. Dari dulu saya emang nggak punya kemampuan cukup untuk nahan air mata saya, jadi suatu kali ketika akhirnya saya nggak bisa nahan emosi, temen saya itu nanya "kenapa lo harus nangis kalo bikin lo tambah sedih,