Langsung ke konten utama

Sepenggal Kisah dari Buniayu (part II)

..lanjutan dari sini :)


Panggilan bangun pagi dari para guide di Buniayu yang berkabut menandakan dimulainya petualangan uji nyali (untuk saya). Saya dan teman-teman terbangun dengan menggigil hebat, terlebih di malam sebelumnya kami underestimate udara di sana yang memang tidak dingin saat kami tidur. Kami lupa tempat tidur kami hanya berdindingkan anyaman bambu dan "pintu tanpa daun pintu".

Kurang lebih setengah jam kami mempersiapkan fisik dan mental sampai akhirnya berganti kostum untuk memulai petualangan sebenarnya. Badan saya masih menggigil, tapi sepertinya bukan lagi karena suhu udara tetapi karena rasa takut yang menyergap. Sepanjang jalan ketegangan saya semakin meningkat sampai Max, salah satu sahabat, berpesan: "walaupun takut jangan lupa napas ya!"

Benar saja, sesampainya di mulut goa, napas saya sudah tidak beraturan. Goa ini berada tepat di bawah kaki, dan lubang yang bisa dilalui tidak selebar itu. Kami akan masuk dengan bergantung pada seutas tali dan diturunkan tanpa menjejak apapun. Untuk itu, di sana sudah ada tiga orang guide yang stand by, Kang Iwan dan dua rekannya (maaf saya lupa nama yang lainnya). Satu orang membantu mengikat harnest, satu orang menahan berat badan peserta, satu orang lagi akan ikut turun bersama kami di dalam goa.

Sebagai orang yang paling takut, saya kebagian masuk goa belakangan. Butuh perjuangan (mental) ekstra sampai akhirnya saya menggantung sempurna pada seutas tali yang diikatkan ke tubuh saya. Ketika mata saya terbuka, saya cuma bisa memasrahkan diri diturunkan 18 meter ke bawah sampai kaki saya menjejak tanah nanti. Itu mungkin puluhan detik paling lama yang ada dalam hidup saya, dan sedihnya saya jadi tidak bisa menikmati keajaiban pemandangan sekitar saking sibuk berdoa selamat sampai di tanah hahaha.

Dan sekali lagi, ternyata petualangan baru dimulai. Selama 5 jam menelusuri goa vertikal ini, saya benar-benar dihadapkan pada hal yang selama ini tidak pernah saya bayangkan.





Menggantung pada tali pada ketinggian 18 meter? Cek.
Menuruni tebing sempit dengan punggung? Cek.
Mengalami gelap abadi? Cek.
Melewati zona lumpur 800 meter? Cek.
Menyusuri goa sepanjang 2 km? Cek. 

Tapi memang, di setiap tantangan pasti ada reward-nya. Di sini, saya bisa memandangi secara langsung hal ang biasanya saya lihat dari film ataupun internet. Stalaktit dan stalakmit yang tersusun dengan cantik membuat semua jadi worth it. Selesai dari goa pun, kami masih mendapat kesempatan berendam di air terjun (di mana perjalanan menuju air terjun pun penuh tantangan dan berbatu-batu).



Namun, dibalik keindahannya, alam selalu punya cara untuk mengajarkan manusia. Kang Iwan sempat sharing mengenai pengalamannya terjebak di dalam goa akibat hujan, yang membuat ia dan tamunya harus menggantung di antara stalaktit untuk tetap bernapas di atas permukaan air. Bukan cerita yang menyenangkan tentunya, tetapi ini jadi pengingat bahwa kita tetaplah makhluk kecil yang tidak ada apa-apanya dibandingkan kekuatan semesta. 

Seperti yang saya katakan di awal kisah, perjalanan ini memiliki kesan yang sangat mendalam bagi saya.
"You never know how strong you are, until being strong is your only choice"

-Bob Marley
Memang, kutipan di atas adalah motivasi terbesar saya dalam mengikuti perjalanan ini: perjalanan pertama saya menghadap alam yang sebenarnya, perjalanan pertama saya bersama tiga sahabat sejak SD, perjalanan pertama saya dengan lima teman baru lainnya. Perjalanan ini sungguh menguji keberanian diri saya melawan segala ketakutan yang ada, mengingatkan saya untuk tidak mengeluh, dan mengajarkan saya untuk percaya dan saling melindungi.

Ya, cerita ini memang tentang liburan singkat pada akhir pekan yang terselip di antara padatnya lembur di kantor. Tapi tidak hanya itu. Ini semua tentang 48 jam yang saya habiskan dengan 8 orang hebat, tentang renungan yang tertinggal dan membekas lebih lama dan lebih dalam dibandingkan lebam, nyeri otot, dan gelaja flu berat yang tersisa setelahnya.




*info tentang Buniayu antara lain bisa dilihat di:http://www.buniayucave.com/
http://www.indonesiangeographic.com/destination/Buniayu_Cave__Sukabumi_1201070402#Buniayu_Caving__Sukabumi_1201070412
**photo credits: Larissa, Dinurrahma



Komentar

chi chin mengatakan…
sist bisa minta CP buniayu

thx

Postingan populer dari blog ini

What do you think

S aya baru sadar kalo saya ternyata sangat gampang kebawa trend. No, no, I don't mean fashion and those kinda stuffs. What I mentioned here is: cyber-social network . Looks familiar, huh? Zaman sekarang rasanya eksistensi orang nggak cuma diitung dari panjangnya meja kantin yang mereka butuhin buat makan bareng se-geng nya ( notes: no offense ), atau banyaknya vote dari adek kelas pas polling majalah sekolah "kakak ter-...". Keberadaan di dunia maya juga dipertanyakan. Coba deh, kalo ada yg kenalan, pasti nggak berapa lama bakal nanya: " punya facebook nggak? " atau " ada msn nggak? " Jawaban negatif dari pertanyaan ini bakal mengundang pemikiran yang setara dengan: " hari gini nggak punya handphone? " Pergaulan sekarang udah meluas. Dulu orang cari temen lewat surat, cari sahabat pena. Beberapa waktu kemudian, HP udah jadi pegangan wajib bahkan merambah ke babysitter dan anak TK. Pacaran pun dimulai dengan kenalan lewat sms-an. Seka...

Hujan

Hujan bukan cuma punya langit. Dingin bukan cuma punya malam. Malam ini hujan lagi, deras. Dingin lagi menggigit, menggigil. Percuma diri berpayung, hujan sendiri lebih deras. Lebih dingin, lebih pekat dari gelap. Jakarta, 01 Feb 09

Painter of Life

img searched in Google saya baru baca notes dari temen SMP saya , namanya Vincent. Tapi kita manggil dia Opaz. I won't talk about him but the notes itself. saya copy aja yaa: "Suatu hari ada pelukis yang sedang menyelesaikan gambarnya di atap suatu gedung tinggi. Lukisannya sangat indah, menggambarkan pemandangan langit dan seisi kota. Di sekitarnya juga ada orang-orang lain yang ikut melukis. Mereka juga mengagumi kepiawaian sang pelukis tadi. Ketika gambar sang pelukis hampir jadi, ia mundur untuk melihatnya dari jauh. Mundur, mundur, semakin lama semakin jauh. Ia tidak sadar bahwa selangkah lagi ia bisa terjatuh dari gedung tinggi itu. Seseorang yang sedang memperhatikan lukisannya tersadar akan bahaya tersebut. Namun ia berpikir, jika ia berteriak siapa tahu justru sang pelukis akan terjatuh karena kaget. Oleh karena itu ia mengambil kuas dan mencoret-coret lukisan sang pelukis. Tentu saja sang pelukis marah, ia pun berlari dan hampir memukul orang itu. Tapi setelah t...