Langsung ke konten utama

Belajar dari yang Muda

Seperti yang saya pernah tulis di sini, inspirasi bisa datang dari mana saja. Pada tulisan kali ini saya ingin bercerita tentang sosok-sosok lainnya yang begitu berkesan untuk saya, yang baru saya temui sekitar sebulan yang lalu.

Pada akhir bulan Juni, saya berkesempatan untuk menjadi observer suatu program acara kampus. Program yang diberi tajuk "Young Scholar Indonesia" ini adalah kontribusi Prasetiya Mulya untuk memberi peluang bagi para pemuda-pemudi bangsa berkualitas untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Di sini, para peserta yang sudah lolos seleksi (yang tidak mudah, menurut saya) akan berkompetisi dalam games-games untuk memperoleh beasiswa bersekolah di sekolah bisnis terkemuka di Indonesia ini (bisa buka video promonya di link ini). Sebelas finalis pun terpilih setelah melalui berbagai tahapan dari psikotes, esai, presentasi, sampai wawancara.

Prestasi para peserta membuat saya berkaca ke diri sendiri dan bertanya: "apa yang saya lakukan di seumuran mereka waktu itu?". Para finalis yang umurnya sekitar 16-18 tahun benar-benar luar biasa. Bayangkan, ada finalis yang sudah menjadi best agent untuk salah satu perusahaan asuransi se-provinsi. Ada juga finalis yang sudah memiliki bisnis EO untuk acara sweet 17 dan pensi sekolah-sekolah di Bandung! Nggak semua orang bisa termotivasi untuk melakukan hal seperti itu sejak masih di bangku sekolah.

Selain itu, saya semakin terkagum-kagum dengan karakter para peserta seiring observasi yang saya lakukan. Kemampuan pikir mereka begitu dewasa, yang bahkan saya nggak yakin dulu saya akan berpikir seperti mereka pada usia yang sama. Tentunya emosi yang bergejolak khas remaja juga masih ada, tapi keberanian dan daya juang yang mereka punya itu nggak semua orang bisa memilikinya. Mereka berani keluar dari comfort zone, masuk ke lingkungan baru (bahkan salah satu dari mereka ada yang baru pertama kali ke ibukota!), dan mengeksplor seluruh kemampuan diri yang ada meskipun harus mengorbankan beberapa hal. Mereka berani mengungkapkan pemikiran mereka, tau apa yang harus mereka lakukan, dan memiliki tekad untuk mewujudkannya.

Di sisi lain, saya juga melihat mereka sebagai suatu komunitas yang unik. Mereka semua memiliki kualitas yang sama dalam bentuk yang berbeda. Nggak bisa dilihat siapa lebih baik dari siapa, nggak bisa dibandingkan karena talenta mereka pun beragam. Seperti yang saya kutip dari seorang juri "kita seperti membandingkan singa dengan koala". Begitulah, kalau mengutip Albert Einstein, "everybody is genius. But, if you judge a fish by its ability to climb a tree, it'll spend its whole life believing that it is stupid."

Mungkin para finalis YSI ini beruntung bisa mengeksplor diri mereka lebih dalam di usia yang sangat muda. Mereka juga beruntung bisa bertemu dengan berbagai sosok hebat selama program acara dan melalui semuanya bersama teman yang seirama.

Tapi saya pun tidak kalah beruntung, bisa berkesempatan bertemu mereka dan belajar banyak hal yang tidak saya sadari sebelumnya :)

----------
Kalau ingin mengetahui lebih dalam tentang program ini, silakan buka link ini atau bisa mengikuti tayangan program YSI ini di Kompas TV setiap hari Minggu pukul 10.30 (mulai 30 Jun) :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tour de Java

Akhirnya, I'm home! Ternyata kadang-kadang rumah bisa jadi sangat menyenangkan ya. Hehe. Jadi ceritanya saya baru pulang dari Jawa Tengah nih, niatnya kan cuma ke Solo menengok eyang, tapi ternyata perhentiannya banyak banget. Jadi di hari pertama saya berangkat dari Jakarta emang udah agak siang, jam 1an gitu. Saya sekeluarga emang udah biasa bermobil ke Solo, tapi untuk yang ini baru pertama kalinya kita lewat jalur selatan. Ternyata jalur selatan tuh beda banget sama Pantura. Jalannya kelok-kelok, bikin mual. Jarang ada toilet lagi, mana kalo gelap tuh ya beneran gelap dan berbahaya. Jadi yaaa.. susah deh pokoknya. Perhentian pertama kita adalah Purwokerto . Kami baru sampe hotel jam setengah 2an pagi setelah melewati perjalanan yang panjang sekali. Ngantuk banget, mual, bokap ngomel-ngomel pula. Lengkap deh capeknya. Niatnya siangnya kita mau ke Baturaden , tapi karena ternyata nggak sedekat yang kami kira, akhirnya abis breakfast kita langsung checkout dan menuju perhentian ke

Drama queen

Beberapa waktu yang lalu, temen sekelas saya, Nia, membuat notes di Facebook. Maaf saya nggak punya url nya, tapi ini sedikit repost dari apa yang dia tulis di situ. "Kita itu aneh, kita nggak suka untuk jadi sedih tapi kita menikmati itu. Bisa dibilang kita sering memanjakan sisi melankolis kita dan mendramatisasi semuanya. Pas kita abis putus, kita justru sengaja ngeliatin foto-foto bareng mantan pacar, ngeliatin barang kenangan, dengerin lagu mellow. Kita ngelakuin hal yang kita tau bakal bikin kita tambah sedih, tapi tetep aja kita ngelakuin hal itu. Kita menikmatinya !" Yaa begitulah kira-kira beberapa kalimat yang merangkum notes tersebut. Nggak persis sama sih, tapi intinya begitu. Dan kemaren, saya abis ngobrol panjang dengan temen dekat saya. Dari dulu saya emang nggak punya kemampuan cukup untuk nahan air mata saya, jadi suatu kali ketika akhirnya saya nggak bisa nahan emosi, temen saya itu nanya "kenapa lo harus nangis kalo bikin lo tambah sedih,

Pesan untuk Saya Nanti

Akhirnya kembali lagi ke halaman ini.. Akhirnya! Keputusan untuk kembali dan menulis di sini bukan hal yang mudah sebenarnya. Saya sempat ingin menulis beberapa bulan yang lalu, kemudian urung, dan akhirnya lupa. Lalu kemarin, entah bagaimana saya diingatkan untuk menunaikan niat yang dulu pernah terbesit, hingga membawa saya duduk dan meluangkan sepersekian detik hari ini di sini. Tulisan kali ini saya tujukan untuk diri saya sendiri suatu hari nanti: sebagai pengingat untuk bersyukur, jika suatu hari saya terlalu angkuh dan tinggi hati, sebagai pegangan untuk berdiri, jika saya mulai rapuh dan jatuh lain kali, sebagai kekuatan untuk maju, jika saya ingin menyerah dan tidak percaya diri, sebagai garis untuk pedoman, agar tidak tersesat dan terlalu jauh berlari Rasanya masih surreal. Tinggal sendiri jauh dari rumah dan memulai kembali duduk di bangku kuliah. Lebih sulit ketika harus selalu mengkonversi waktu setiap ingin menghubungi mereka di Tanah Air, tapi yang jauh