Langsung ke konten utama

Sampai Bertemu Lagi, Babakan Sari

Di Babakan Sari saya kembali, desa yang sama dengan yang saya tulis di sini, desa yang sama yang membantu saya menjadi lebih dewasa dan belajar lebih dari yang saya kira. 

Untuk kedua kalinya saya menghabiskan 20 hari lebih dalam hidup saya di sana, dalam program yang sama, dengan peran yang berbeda sebagai tutor bukan lagi peserta. 

Tidak banyak yang berubah, selain dari mahasiswanya sendiri. Lapangan bola desa dengan tekstur tanah yang ekstrim masih demikian adanya. Anak-anak SD masih terus ramai mengerubuti pedagang makanan di pagi hari seperti semut mengerubuti gula. Bapak penjual bubur masih setia di depan balai desa. Warung favorit saya tempat membeli Teh Botol dan Indomie goreng juga masih di berada di sudut persimpangan desa, tidak berubah sedikitpun bahkan barang dagangannya.

Rasanya begitu terharu ketika warga masih mengingat saya yang mana saya sendiri pun perlu beberapa detik untuk menerka siapa namanya dan di mana saya pernah bertemu beliau. Keramahannya masih ada. Hal itu tercermin dari banyaknya undangan ngeliwet (acara makan bersama di atas daun pisang dengan nasi bumbu dan berbagai lauk) yang datang. Jamuan itu menjadi begitu mewah dan membahagiakan, terutama setelah melewati hari yang lelah emosi dan fisik.

Kenangan pun tidak hanya muncul dari interaksi saya dengan desa dan warganya. Keberadaan rekan seperjuangan pun menjadi sangat berarti dan meninggalkan kesan tersendiri. Bagaimana saya bisa lupa bahwa saya pernah tinggal dengan 16 orang di bawah satu atap? Setiap hari kami terjebak dalam antrean kamar mandi, susunan tidur, debu rumah yang tidak pernah hilang, dan suara kambing (dan aromanya) yang selalu hilir mudik mengisi siang dan malam.

Ah, saya jadi merasa terlalu mellow menuliskan ini. Belum 24 jam rasanya saya keluar dari pintu rumah itu. Namun, kini saya sudah pulang. Kembali di sini, di kota yang serba ada dan berlebihan -berlebih penduduknya, berlebih hedonismenya, berlebih individualistisnya.

Saya tidak dapat memungkiri bahwa saya senang kembali pulang. Meskipun demikian, mungkin memang masih tertinggal sedikit rasa sayang.....




***sila dikunjungi juga tulisan sahabat seperjuangan di sini :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

What do you think

S aya baru sadar kalo saya ternyata sangat gampang kebawa trend. No, no, I don't mean fashion and those kinda stuffs. What I mentioned here is: cyber-social network . Looks familiar, huh? Zaman sekarang rasanya eksistensi orang nggak cuma diitung dari panjangnya meja kantin yang mereka butuhin buat makan bareng se-geng nya ( notes: no offense ), atau banyaknya vote dari adek kelas pas polling majalah sekolah "kakak ter-...". Keberadaan di dunia maya juga dipertanyakan. Coba deh, kalo ada yg kenalan, pasti nggak berapa lama bakal nanya: " punya facebook nggak? " atau " ada msn nggak? " Jawaban negatif dari pertanyaan ini bakal mengundang pemikiran yang setara dengan: " hari gini nggak punya handphone? " Pergaulan sekarang udah meluas. Dulu orang cari temen lewat surat, cari sahabat pena. Beberapa waktu kemudian, HP udah jadi pegangan wajib bahkan merambah ke babysitter dan anak TK. Pacaran pun dimulai dengan kenalan lewat sms-an. Seka...

Hujan

Hujan bukan cuma punya langit. Dingin bukan cuma punya malam. Malam ini hujan lagi, deras. Dingin lagi menggigit, menggigil. Percuma diri berpayung, hujan sendiri lebih deras. Lebih dingin, lebih pekat dari gelap. Jakarta, 01 Feb 09

Painter of Life

img searched in Google saya baru baca notes dari temen SMP saya , namanya Vincent. Tapi kita manggil dia Opaz. I won't talk about him but the notes itself. saya copy aja yaa: "Suatu hari ada pelukis yang sedang menyelesaikan gambarnya di atap suatu gedung tinggi. Lukisannya sangat indah, menggambarkan pemandangan langit dan seisi kota. Di sekitarnya juga ada orang-orang lain yang ikut melukis. Mereka juga mengagumi kepiawaian sang pelukis tadi. Ketika gambar sang pelukis hampir jadi, ia mundur untuk melihatnya dari jauh. Mundur, mundur, semakin lama semakin jauh. Ia tidak sadar bahwa selangkah lagi ia bisa terjatuh dari gedung tinggi itu. Seseorang yang sedang memperhatikan lukisannya tersadar akan bahaya tersebut. Namun ia berpikir, jika ia berteriak siapa tahu justru sang pelukis akan terjatuh karena kaget. Oleh karena itu ia mengambil kuas dan mencoret-coret lukisan sang pelukis. Tentu saja sang pelukis marah, ia pun berlari dan hampir memukul orang itu. Tapi setelah t...