Langsung ke konten utama

Salam dari Babakan Sari

Tiga puluh hari saya tinggal di rumah seorang juragan sawah dan dua cucunya, ditambah sebelas orang lainnya: sesama mahasiswa satu kampus yang punya karakter berbeda dan tak jarang menimbulkan drama.

Program yang bahasa kerennya disebut "Community Development 2" ini adalah salah satu mata kuliah yang harus saya ambil di semester genap ketiga ini. Kami diwajibkan live in di desa selama satu bulan dalam rangka mewujudkan visi mulia untuk membantu kesejahteraan penduduk sekitar, dan harus memantau perkembangannya selama lima bulan ke depan. Tahun ini, lokasi program adalah Cianjur, Jawa Barat. Sudah dua kali tempat ini dijadikan sebagai tempat pelaksanaan in village living dari Comdev 2. Saya pikir, mungkin salah satu faktornya adalah roda perekonomian daerah ini mulai sedikit seret. Lihat saja, jalanan Cianjur yang tadinya ramai mulai kosong karena bergantinya akses favorit penduduk ibukota ketika ingin berkunjung ke kota bunga..

Sebagai sekolah bisnis, tentu saja cara kami adalah membangun jiwa kewirausahaan itu sendiri. Kami terbagi menjadi 19+1 kelompok:

Ada 19 kelompok yang disebut builder, di mana tiap kelompok tinggal bersama penduduk asli, yang kemudian menjadi mitra mereka. Berbekal ilmu yang kami dapat dari sekolah, bersama mitranya mereka menjalankan bisnis. Produknya bermacam-macam, dari kerudung sampai keripik. Dari ikan sampai kulit singkong.

Ada 1 kelompok lain yang disebut energizer, di mana tugasnya berbeda dengan tugas 19 builder lainnya. Energizer bertugas sebagai distributor, membuka jalur distribusi di mana produk hasil buatan builder nantinya akan dipasarkan. Selain itu, energizer juga memiliki tugas-tugas khusus seperti bertindak sebagai penanggung jawab acara sosial angkatan, bazaar, dan juga membantu pendirian organisasi dari mitra itu sendiri.

Untuk saya pribadi, kegiatan ini sungguh merupakan kesempatan yang membuka mata saya. Banyak hal yang baru saya sadari ketika saya berada dalam lingkungan ini. Belajar adaptasi? Sudah pasti. Bukan saja masalah infrastruktur yang tentu nggak bisa saya bandingkan dengan kemewahan ibukota. Kultur dan karakter masyarakatnya sendiri adalah hal menarik. Beruntung, saya berkesempatan berinteraksi dengan berbagai macam orang di sini. Yang pahit jadi pelajaran, yang manis jadi teladan :)

Pembelajaran pun sebenarnya tidak hanya bergulir dalam relasi dengan masyarakat desa. Interaksi di dalam kelompok yang notabene sama-sama mahasiswa pun menjadi suatu cerita tersendiri. Kebersamaannya nyata, karena tiga puluh hari rasanya terlalu lama untuk bersembunyi dalam image yang berusaha dijaga. 

Masih ada lima bulan yang menunggu untuk dijajal bersama.. 
Masih ada waktu untuk menjadi semakin dewasa.

Salam dari Babakan Sari

Rumah Ibu Rohmah, Cianjur 2012 - by F.A.L.K















Komentar

Postingan populer dari blog ini

What do you think

S aya baru sadar kalo saya ternyata sangat gampang kebawa trend. No, no, I don't mean fashion and those kinda stuffs. What I mentioned here is: cyber-social network . Looks familiar, huh? Zaman sekarang rasanya eksistensi orang nggak cuma diitung dari panjangnya meja kantin yang mereka butuhin buat makan bareng se-geng nya ( notes: no offense ), atau banyaknya vote dari adek kelas pas polling majalah sekolah "kakak ter-...". Keberadaan di dunia maya juga dipertanyakan. Coba deh, kalo ada yg kenalan, pasti nggak berapa lama bakal nanya: " punya facebook nggak? " atau " ada msn nggak? " Jawaban negatif dari pertanyaan ini bakal mengundang pemikiran yang setara dengan: " hari gini nggak punya handphone? " Pergaulan sekarang udah meluas. Dulu orang cari temen lewat surat, cari sahabat pena. Beberapa waktu kemudian, HP udah jadi pegangan wajib bahkan merambah ke babysitter dan anak TK. Pacaran pun dimulai dengan kenalan lewat sms-an. Seka

Tour de Java

Akhirnya, I'm home! Ternyata kadang-kadang rumah bisa jadi sangat menyenangkan ya. Hehe. Jadi ceritanya saya baru pulang dari Jawa Tengah nih, niatnya kan cuma ke Solo menengok eyang, tapi ternyata perhentiannya banyak banget. Jadi di hari pertama saya berangkat dari Jakarta emang udah agak siang, jam 1an gitu. Saya sekeluarga emang udah biasa bermobil ke Solo, tapi untuk yang ini baru pertama kalinya kita lewat jalur selatan. Ternyata jalur selatan tuh beda banget sama Pantura. Jalannya kelok-kelok, bikin mual. Jarang ada toilet lagi, mana kalo gelap tuh ya beneran gelap dan berbahaya. Jadi yaaa.. susah deh pokoknya. Perhentian pertama kita adalah Purwokerto . Kami baru sampe hotel jam setengah 2an pagi setelah melewati perjalanan yang panjang sekali. Ngantuk banget, mual, bokap ngomel-ngomel pula. Lengkap deh capeknya. Niatnya siangnya kita mau ke Baturaden , tapi karena ternyata nggak sedekat yang kami kira, akhirnya abis breakfast kita langsung checkout dan menuju perhentian ke

Drama queen

Beberapa waktu yang lalu, temen sekelas saya, Nia, membuat notes di Facebook. Maaf saya nggak punya url nya, tapi ini sedikit repost dari apa yang dia tulis di situ. "Kita itu aneh, kita nggak suka untuk jadi sedih tapi kita menikmati itu. Bisa dibilang kita sering memanjakan sisi melankolis kita dan mendramatisasi semuanya. Pas kita abis putus, kita justru sengaja ngeliatin foto-foto bareng mantan pacar, ngeliatin barang kenangan, dengerin lagu mellow. Kita ngelakuin hal yang kita tau bakal bikin kita tambah sedih, tapi tetep aja kita ngelakuin hal itu. Kita menikmatinya !" Yaa begitulah kira-kira beberapa kalimat yang merangkum notes tersebut. Nggak persis sama sih, tapi intinya begitu. Dan kemaren, saya abis ngobrol panjang dengan temen dekat saya. Dari dulu saya emang nggak punya kemampuan cukup untuk nahan air mata saya, jadi suatu kali ketika akhirnya saya nggak bisa nahan emosi, temen saya itu nanya "kenapa lo harus nangis kalo bikin lo tambah sedih,