Langsung ke konten utama

Lari, lagi

Benak tersentak, menyadari usia tidak lagi muda. Bayangan para kawan lama mengitarinya. Mereka sudah berlari cepat, berpencar arah menuju pintu masing-masing, meninggalkan warna sendiri yang sebelumnya tidak tampak mata.

Rasanya dia juga bukan hanya berdiri saja. Ia juga melangkah, hanya saja tidak dengan akselerasi yang sama. Ia melangkah, tapi berencana. Ia banyak melangkah, tapi berencana lebih banyak. Akibatnya, ia pun banyak berhenti juga dan besarlah jarak antara mereka.

Seketika ia merasa bodoh karena salah perhitungan. Ternyata ketika di kepala sedang berputar adegan masa depan, kaki ini baru beranjak sekitar satu jengkalan. Kebanyakan membayangkan berakibat tenaga keburu terengah, energi pun sudah mulai habis setengah. Lelah. Padahal, masih ratusan tapak menunggu jauh di sana, tapi masa juga berubah tanpa jeda.

Aduh, harus bagaimana?

Panik merasuk, membuatnya buta. Ia merasa percuma. Ia merasa..... gagal yang nyata.

"Sudah." begitu kata seorang yang menjadi tumpuan keluhnya. "Sabar. Tunggu saja waktunya. Sekarang memang belum saja."

Lelah, baiklah ia pun berhenti sejenak, mengistirahatkan diri meluruskan akal. Perlahan, dibukalah kembali kotak pikiran. Ia coba pisahkan, mana yang mimpi dan mana yang terpercik karena rasa iri.

Sabar. Ia meyakinkan jiwanya yang sempat pudar. Mungkin bukan sekarang saatnya ia berpendar.

Sesaat setelah ini, pasti ia akan berlari. Lagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemanasan

Sebentar lagi kuartal kedua akan dimulai. Saya lupa saya punya ruang ini, tempat di mana saya bicara sendiri dengan sedikit berharap ada pembaca mengerti tapi pura-pura tidak peduli dan tidak perlu dikonfrontasi. Ironis memang; sengaja membuka eksistensi tapi tidak percaya diri, memilih untuk ditemukan dalam ranah maya tapi memilih berkisah dalam metafora. Lalu kemudian saya menulis ini, memilih cara begini dengan membagi prosa dalam spasi menjadi seakan puisi. Padahal, isinya hanya rangkaian kalimat tak berinti, tumpahan kata yang sulit berhenti, tapi terlalu sayang untuk disimpan dalam hati. ------------------------------------ Dua hari sebelum kuartal satu ditutup Rumah, 2016

Menantang Hujan

Selama ini ia benci Hujan. Ia beli payung berbagai ukuran, jas hujan dengan warna menawan,  sepatu anti air dengan kualitas tak diragukan. Lalu kemudian Hujan tidak datang selama beberapa pekan. Sial, lalu apa gunanya semua perlengkapan? Ia pikir ia benci Hujan. Memang, tapi bukan dalam bentuk "tanpa pertemuan". Ia perlu Hujan. Untuk dilawan. _____________________________________ Kebon Sirih, 27 Februari 2015 di penghujung musim penghujan

Teruntuk Rumput

Teruntuk Rumput di sana, semoga tetap sedia untuk berjalan bersama. Salam, Embun ______________________________________________ Pada suatu hari Rumah, 24 Januari 2015