Benak tersentak, menyadari usia tidak lagi muda. Bayangan para kawan lama mengitarinya. Mereka sudah berlari cepat, berpencar arah menuju pintu masing-masing, meninggalkan warna sendiri yang sebelumnya tidak tampak mata.
Rasanya dia juga bukan hanya berdiri saja. Ia juga melangkah, hanya saja tidak dengan akselerasi yang sama. Ia melangkah, tapi berencana. Ia banyak melangkah, tapi berencana lebih banyak. Akibatnya, ia pun banyak berhenti juga dan besarlah jarak antara mereka.
Seketika ia merasa bodoh karena salah perhitungan. Ternyata ketika di kepala sedang berputar adegan masa depan, kaki ini baru beranjak sekitar satu jengkalan. Kebanyakan membayangkan berakibat tenaga keburu terengah, energi pun sudah mulai habis setengah. Lelah. Padahal, masih ratusan tapak menunggu jauh di sana, tapi masa juga berubah tanpa jeda.
Aduh, harus bagaimana?
Panik merasuk, membuatnya buta. Ia merasa percuma. Ia merasa..... gagal yang nyata.
"Sudah." begitu kata seorang yang menjadi tumpuan keluhnya. "Sabar. Tunggu saja waktunya. Sekarang memang belum saja."
Lelah, baiklah ia pun berhenti sejenak, mengistirahatkan diri meluruskan akal. Perlahan, dibukalah kembali kotak pikiran. Ia coba pisahkan, mana yang mimpi dan mana yang terpercik karena rasa iri.
Sabar. Ia meyakinkan jiwanya yang sempat pudar. Mungkin bukan sekarang saatnya ia berpendar.
Sesaat setelah ini, pasti ia akan berlari. Lagi.
Rasanya dia juga bukan hanya berdiri saja. Ia juga melangkah, hanya saja tidak dengan akselerasi yang sama. Ia melangkah, tapi berencana. Ia banyak melangkah, tapi berencana lebih banyak. Akibatnya, ia pun banyak berhenti juga dan besarlah jarak antara mereka.
Seketika ia merasa bodoh karena salah perhitungan. Ternyata ketika di kepala sedang berputar adegan masa depan, kaki ini baru beranjak sekitar satu jengkalan. Kebanyakan membayangkan berakibat tenaga keburu terengah, energi pun sudah mulai habis setengah. Lelah. Padahal, masih ratusan tapak menunggu jauh di sana, tapi masa juga berubah tanpa jeda.
Aduh, harus bagaimana?
Panik merasuk, membuatnya buta. Ia merasa percuma. Ia merasa..... gagal yang nyata.
Lelah, baiklah ia pun berhenti sejenak, mengistirahatkan diri meluruskan akal. Perlahan, dibukalah kembali kotak pikiran. Ia coba pisahkan, mana yang mimpi dan mana yang terpercik karena rasa iri.
Sabar. Ia meyakinkan jiwanya yang sempat pudar. Mungkin bukan sekarang saatnya ia berpendar.
Sesaat setelah ini, pasti ia akan berlari. Lagi.
Komentar