Langsung ke konten utama

Seperti Hugo Berkata..

"I'd imagine the whole world was one big machine. Machines never come with any extra parts, you know. They always come with the exact amount they need. So I figured if the entire world was one big machine... I couldn't be an extra part. I had to be here for some reason."
"Maybe that's why a broken machine always makes me a little sad, because it isn't able to do what it was meant to do... Maybe it's the same with people. If you lose your purpose... it's like you're broken." - Hugo Cabret 
Termenung. Saya mengutip kalimat itu di sebuah film adopsi dari sebuah novel karangan Brian Selznick. Yang berbicara adalah anak kecil, yang pintar mengutak-atik sebuah mesin, yang selalu memiliki keinginan untuk memperbaiki sesuatu. Tapi buat saya, kata-kata itu bukan sepele. Bukan sekadar dialog film yang kemudian lewat begitu saja, atau yang dinilai bagus dan dikutip ulang di media sosial sebelah. Kalimat itu dengan hebatnya terngiang-ngiang dan menciptakan tanda tanya besar.

Apa alasan saya ada di sini?
Apa tujuan saya?

Rasanya saya butuh beberapa saat untuk merunut kembali keputusan-keputusan yang saya ambil sampai sekarang. Rasanya saya butuh lembaran kertas yang panjang, untuk menghubungkannya dengan mimpi-mimpi yang terbesit sampai detik ini. Kalau saya sadari, ada yang sebenarnya sejalan. Tapi tak sedikit yang bertolak belakang.

Lalu muncul pemikiran, kenapa menghabiskan waktu di tempat yang tidak sesuai dengan tujuan awal?

Kenapa tidak berani untuk berjalan sesuai passion? Kenapa harus gengsi?

Lagi-lagi saya menyalahkan diri sendiri. Tapi yasudah, tidak berguna rasanya untuk menyesal. Sekarang saatnya menikmati apa yang sedang saya jalani, mungkin saya di sini supaya bisa tau ada apa di luar sana, selain yang selama ini saya cari. Tak lupa juga mulai sekarang saya harus mencari 'jalan tembus' lain. Bukan untuk lari.. Saya cuma ingin menghubungkan titik saya berdiri sekarang dengan cita-cita yang selalu ada di dalam hati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemanasan

Sebentar lagi kuartal kedua akan dimulai. Saya lupa saya punya ruang ini, tempat di mana saya bicara sendiri dengan sedikit berharap ada pembaca mengerti tapi pura-pura tidak peduli dan tidak perlu dikonfrontasi. Ironis memang; sengaja membuka eksistensi tapi tidak percaya diri, memilih untuk ditemukan dalam ranah maya tapi memilih berkisah dalam metafora. Lalu kemudian saya menulis ini, memilih cara begini dengan membagi prosa dalam spasi menjadi seakan puisi. Padahal, isinya hanya rangkaian kalimat tak berinti, tumpahan kata yang sulit berhenti, tapi terlalu sayang untuk disimpan dalam hati. ------------------------------------ Dua hari sebelum kuartal satu ditutup Rumah, 2016

Menantang Hujan

Selama ini ia benci Hujan. Ia beli payung berbagai ukuran, jas hujan dengan warna menawan,  sepatu anti air dengan kualitas tak diragukan. Lalu kemudian Hujan tidak datang selama beberapa pekan. Sial, lalu apa gunanya semua perlengkapan? Ia pikir ia benci Hujan. Memang, tapi bukan dalam bentuk "tanpa pertemuan". Ia perlu Hujan. Untuk dilawan. _____________________________________ Kebon Sirih, 27 Februari 2015 di penghujung musim penghujan

Teruntuk Rumput

Teruntuk Rumput di sana, semoga tetap sedia untuk berjalan bersama. Salam, Embun ______________________________________________ Pada suatu hari Rumah, 24 Januari 2015