Langsung ke konten utama

Personifikasi

Dari kecil, saya menganggap semua benda punya nyawa.

Sering ketika saya memasukkan sepatu ke lemari, saya berpikir. Jangan-jangan sepatu yang satu cemburu dengan sepatu lainnya karena lebih sering dipakai. Sepatu yang lain marah karena lebih kotor daripada yang lainnya. Kadang kalo saya mau memilih, seakan mereka sama-sama berteriak untuk jadi pilihan pertama.

Tapi saya nggak mau tau, perkelahian macam apa yang bakal terjadi saat pintu rak itu ditutup. Mungkin itu sebabnya saya memilih menyimpan sepatu baru di kotak dulu, takut kalo mereka 'dibully' karena jadi anak baru.

Begitu juga dengan alat tulis. Beberapa kali saya selalu mengusahakan menggunakan alat tulis yang berbeda dengan intensitas waktu yang sama. Kenapa? Karena saya takut di dalem tempat pensil mereka berantem karena dianggap tidak diperhatikan.

Mungkin itu sebabnya saya sekarang cuma punya 1 pensil, 1 bolpen, dan 1 penghapus. Sehingga nggak ada yang merasa dianaktirikan karena masing-masing punya perannya sendiri.

Waktu saya mau beli jus pir di kantin, saya ngeliat gimana ibu-ibu kantin motong buah pir itu jadi kecil-kecil. Dimasukkin ke blender, dinyalain.. dan. Brrrrrzzzzzz.... Semua potongan itu hancur dan terlumatkan.

Tau apa yang ada di kepala saya?
Suara potongan pir itu saling berteriak menyemangati, bersiap-siap menghadapi serangan pisau blender. Walaupun akhirnya mereka hancur juga, tapi mereka tetap bersama dengan wujud yang berbeda.

Mungkin itu yang membuat saya agak sedih kalo ngeliat blender ataupun mesin pemotong lainnya.

Terus pernah nggak sih kalo nginjek rumput mereka beneran teriak-teriak?

...
..
Nggak ya?

Apa saya yang emang udah gila?



Komentar

Tea mengatakan…
hahahahaha apa yang ada di otak lo sekarang sih tik? i think you're one step ahead to be crazy haha

Postingan populer dari blog ini

Pemanasan

Sebentar lagi kuartal kedua akan dimulai. Saya lupa saya punya ruang ini, tempat di mana saya bicara sendiri dengan sedikit berharap ada pembaca mengerti tapi pura-pura tidak peduli dan tidak perlu dikonfrontasi. Ironis memang; sengaja membuka eksistensi tapi tidak percaya diri, memilih untuk ditemukan dalam ranah maya tapi memilih berkisah dalam metafora. Lalu kemudian saya menulis ini, memilih cara begini dengan membagi prosa dalam spasi menjadi seakan puisi. Padahal, isinya hanya rangkaian kalimat tak berinti, tumpahan kata yang sulit berhenti, tapi terlalu sayang untuk disimpan dalam hati. ------------------------------------ Dua hari sebelum kuartal satu ditutup Rumah, 2016

Menantang Hujan

Selama ini ia benci Hujan. Ia beli payung berbagai ukuran, jas hujan dengan warna menawan,  sepatu anti air dengan kualitas tak diragukan. Lalu kemudian Hujan tidak datang selama beberapa pekan. Sial, lalu apa gunanya semua perlengkapan? Ia pikir ia benci Hujan. Memang, tapi bukan dalam bentuk "tanpa pertemuan". Ia perlu Hujan. Untuk dilawan. _____________________________________ Kebon Sirih, 27 Februari 2015 di penghujung musim penghujan

Teruntuk Rumput

Teruntuk Rumput di sana, semoga tetap sedia untuk berjalan bersama. Salam, Embun ______________________________________________ Pada suatu hari Rumah, 24 Januari 2015