Langsung ke konten utama

Yang Tadi atau Nanti, Bukan Hari Ini


Selama hampir dua taun mengidap insomnia, produktivitas saya kalo malem itu justru lagi mencapai titik tertinggi. Biasanya kalo lagi semangat belajar ya saya buka buku. Kalo lagi semangat cerita ya saya buka conversation cari temen ngobrol. Kalo lagi semangat stalker ya saya buka profile dan stalking orang-orang. Hahaha.

Nah.. Selain penyakit sulit tidur itu, saya punya penyakit lain. Saya nggak tau disebut apa, tapi saya itu sangat past-minded and future (over)-orientation. Dua penyakit berlawanan makna itu tergabung jadi satu dan menyebabkan saya susah untuk menyadari keberadaan hari sekarang. Dan itulah yang bakal saya bahas di sini.

Kombinasi antara dua paragraf di atas itu terjalin ketika beberapa malam tanpa tidur itu saya gunakan untuk membuka lagi hal-hal lama yang ada, baik di komputer, agenda, album foto, dan semacemnya. Ya, saya punya satu laci cukup besar (kalo nggak mau saya sebut lemari kecil) yang isinya berkotak-kotak barang dari jaman dulu. Ada surat entah kapan dari jaman SD, ada ID card jaman SMP, ada tugas-tugas kaderisasi jaman SMA, dan ya.. segala hal kenangan yang menyangkut orang lain.

Itu baru tentang masa lalu. Nah, kalo yang masa depan.. Ketika seseorang bilang kalo bermimpi itu penting, yang saya lakukan nggak cuma berharap. Saya menulis rencana. Walaupun nggak tertulis secara nyata di agenda saya, tapi di kepala saya itu kayak ada timeline dengan setiap target dan deadline yang harus saya penuhi secara pribadi. Segalanya kayak udah terstruktur dan garis itulah yang jadi penuntun setiap checkpoint hidup saya.

Kegiatan saya yang pertama, tentu membangkitkan sisi super-emosional-nan-melankolis saya. Nggak jarang hal-hal itu menjebak saya ke memori nggak penting yang merusak rasionalitas dalam sekejap. Rasa kangen, marah, nyesel, nyesek, semua jadi satu. Ujung-ujungnyaa... ya taulah ya bakal gimana. Haha.
Sedangkan kegiatan kedua, itu adalah titik sadar setelah berlarut-larut dalam kenangan masa lalu itu. Di saat itulah mata saya terbuka dan semangat diri saya terbangun untuk bisa move on. Untuk maju dan membangkitkan ambisi-tinggi-nan-perfeksionis saya. Kalo diilustrasiin, rasanya kayak di depan mata udah ada tangga panjang yang menunggu dengan kata 'sukses' di atas sana. Bahkan kadang itu bukan seperti rencana kosong, tapi di otak saya tuh udah ada bayangan akan (atau harus) seperti apa masa depan saya nanti.

Nggak nyambung? Yaa.. Mungkin begitu. Tapi bisa nggak sih diliat di sini, saya bermasalah dengan masa sekarang? Ketika saya menjebak diri dengan segala hal yang pernah saya punyai, ataupun ketika saya mengikat diri untuk memiliki hal yang ingin saya miliki. Saya lupa tentang apa yang sedang ada di tangan saya sekarang.

Saya rasa ini bukan cuma saya. Nggak sedikit orang yang terlalu terpaku dengan dua hal yang mengapit mereka dan lupa, kalo apa yang diinjak sekarang adalah jalan hari ini. Bukan kemarin atau nanti. Bukan yang lalu ataupun yang belum tahu.

Gimana kalo kita belajar menyadari itu?


Komentar

Unknown mengatakan…
mending belajar cara cepet tidur dulu haha

Postingan populer dari blog ini

What do you think

S aya baru sadar kalo saya ternyata sangat gampang kebawa trend. No, no, I don't mean fashion and those kinda stuffs. What I mentioned here is: cyber-social network . Looks familiar, huh? Zaman sekarang rasanya eksistensi orang nggak cuma diitung dari panjangnya meja kantin yang mereka butuhin buat makan bareng se-geng nya ( notes: no offense ), atau banyaknya vote dari adek kelas pas polling majalah sekolah "kakak ter-...". Keberadaan di dunia maya juga dipertanyakan. Coba deh, kalo ada yg kenalan, pasti nggak berapa lama bakal nanya: " punya facebook nggak? " atau " ada msn nggak? " Jawaban negatif dari pertanyaan ini bakal mengundang pemikiran yang setara dengan: " hari gini nggak punya handphone? " Pergaulan sekarang udah meluas. Dulu orang cari temen lewat surat, cari sahabat pena. Beberapa waktu kemudian, HP udah jadi pegangan wajib bahkan merambah ke babysitter dan anak TK. Pacaran pun dimulai dengan kenalan lewat sms-an. Seka...

Drama queen

Beberapa waktu yang lalu, temen sekelas saya, Nia, membuat notes di Facebook. Maaf saya nggak punya url nya, tapi ini sedikit repost dari apa yang dia tulis di situ. "Kita itu aneh, kita nggak suka untuk jadi sedih tapi kita menikmati itu. Bisa dibilang kita sering memanjakan sisi melankolis kita dan mendramatisasi semuanya. Pas kita abis putus, kita justru sengaja ngeliatin foto-foto bareng mantan pacar, ngeliatin barang kenangan, dengerin lagu mellow. Kita ngelakuin hal yang kita tau bakal bikin kita tambah sedih, tapi tetep aja kita ngelakuin hal itu. Kita menikmatinya !" Yaa begitulah kira-kira beberapa kalimat yang merangkum notes tersebut. Nggak persis sama sih, tapi intinya begitu. Dan kemaren, saya abis ngobrol panjang dengan temen dekat saya. Dari dulu saya emang nggak punya kemampuan cukup untuk nahan air mata saya, jadi suatu kali ketika akhirnya saya nggak bisa nahan emosi, temen saya itu nanya "kenapa lo harus nangis kalo bikin lo tambah sedih, ...

Pemanasan

Sebentar lagi kuartal kedua akan dimulai. Saya lupa saya punya ruang ini, tempat di mana saya bicara sendiri dengan sedikit berharap ada pembaca mengerti tapi pura-pura tidak peduli dan tidak perlu dikonfrontasi. Ironis memang; sengaja membuka eksistensi tapi tidak percaya diri, memilih untuk ditemukan dalam ranah maya tapi memilih berkisah dalam metafora. Lalu kemudian saya menulis ini, memilih cara begini dengan membagi prosa dalam spasi menjadi seakan puisi. Padahal, isinya hanya rangkaian kalimat tak berinti, tumpahan kata yang sulit berhenti, tapi terlalu sayang untuk disimpan dalam hati. ------------------------------------ Dua hari sebelum kuartal satu ditutup Rumah, 2016