Langsung ke konten utama

Hasil vs Proses

Dari dulu saya selalu terganggu dengan dua hal itu. Dan entah kebetulan atau apa, saya sedang dihadapkan dengan situasi di mana pemikiran ini muncul lagi di permukaan.

Saya baru aja melewati minggu ujian akhir ketika teman-teman dari kampus lain sudah heboh membicarakan angka indeks prestasi. Ada yang bersyukur, ada yang berlomba merendahkan diri. Pameran antarkampus juga nggak terelakkan. Mereka saling membandingkan. Dan meskipun nggak tersurat, kemungkinan besar akan muncul rasa bangga ketika temannya di kampus lain memiliki nilai yang lebih buruk.

Siapa yang peduli kita belajar mati-matian, nggak tidur semaleman, rajin dengerin dosen, punya catetan super lengkap? Yang diliat IPnya, apa di atas 3?

Contoh lain.
Saya baru aja selesai rapat kepanitiaan acara kampus. Keadaan saat itu, acara sudah H-5 dan tiba-tiba segala hal yang dipikir sudah beres, ternyata menemukan masalah dan harus dirombak ulang. Setiap individu di situ capek, kesel, berusaha mencari kambing hitam. Masing-masing merasa bersalah. Masing-masing punya skenario, akan seperti apa acara itu berjalan nanti. Semua takut, acara berjalan kurang lancar dan nama angkatan dicap gagal.

Siapa yang peduli kalo sebenernya panitia kerja keras nyumbang ide, tenaga, pikiran, nggak bisa kerjain tugas kuliah karena harus selesein kerjaan, nggak bisa pulang cepet untuk belajar karena harus rapat ngomongin kerjaan? Yang diliat itu acaranya, apa berjalan sesuai rencana?

See? Intinya semua tentang hasil.

Ketika orang bijak bilang, "proses itu penting",
lalu di mana aplikasinya?
Cara orang menilai masih deduktif. Melihat hasil dulu, baru dirunut detail kerjanya.
Sedikit banget orang yang bisa menghargai proses kerja seseorang. Mungkin ada, tapi ketika ternyata hasilnya nggak sesuai harapan, proses di belakangnya jadi sia-sia.

Jadi, sebenernya di mana yang lebih penting? Apa nasihat itu masih bisa saya anut untuk kehidupan saya di masa mendatang?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

What do you think

S aya baru sadar kalo saya ternyata sangat gampang kebawa trend. No, no, I don't mean fashion and those kinda stuffs. What I mentioned here is: cyber-social network . Looks familiar, huh? Zaman sekarang rasanya eksistensi orang nggak cuma diitung dari panjangnya meja kantin yang mereka butuhin buat makan bareng se-geng nya ( notes: no offense ), atau banyaknya vote dari adek kelas pas polling majalah sekolah "kakak ter-...". Keberadaan di dunia maya juga dipertanyakan. Coba deh, kalo ada yg kenalan, pasti nggak berapa lama bakal nanya: " punya facebook nggak? " atau " ada msn nggak? " Jawaban negatif dari pertanyaan ini bakal mengundang pemikiran yang setara dengan: " hari gini nggak punya handphone? " Pergaulan sekarang udah meluas. Dulu orang cari temen lewat surat, cari sahabat pena. Beberapa waktu kemudian, HP udah jadi pegangan wajib bahkan merambah ke babysitter dan anak TK. Pacaran pun dimulai dengan kenalan lewat sms-an. Seka...

Hujan

Hujan bukan cuma punya langit. Dingin bukan cuma punya malam. Malam ini hujan lagi, deras. Dingin lagi menggigit, menggigil. Percuma diri berpayung, hujan sendiri lebih deras. Lebih dingin, lebih pekat dari gelap. Jakarta, 01 Feb 09

Painter of Life

img searched in Google saya baru baca notes dari temen SMP saya , namanya Vincent. Tapi kita manggil dia Opaz. I won't talk about him but the notes itself. saya copy aja yaa: "Suatu hari ada pelukis yang sedang menyelesaikan gambarnya di atap suatu gedung tinggi. Lukisannya sangat indah, menggambarkan pemandangan langit dan seisi kota. Di sekitarnya juga ada orang-orang lain yang ikut melukis. Mereka juga mengagumi kepiawaian sang pelukis tadi. Ketika gambar sang pelukis hampir jadi, ia mundur untuk melihatnya dari jauh. Mundur, mundur, semakin lama semakin jauh. Ia tidak sadar bahwa selangkah lagi ia bisa terjatuh dari gedung tinggi itu. Seseorang yang sedang memperhatikan lukisannya tersadar akan bahaya tersebut. Namun ia berpikir, jika ia berteriak siapa tahu justru sang pelukis akan terjatuh karena kaget. Oleh karena itu ia mengambil kuas dan mencoret-coret lukisan sang pelukis. Tentu saja sang pelukis marah, ia pun berlari dan hampir memukul orang itu. Tapi setelah t...