Langsung ke konten utama

Hari Itu, Hari Istimewa

Hari itu hari istimewa. Ada yang tidak biasa di sana, di rumah kedua di gang nomor dua. Bangunan yang sudah berusia empat puluh tahun itu disesaki kerabat dan sanak saudara. Bahkan, mereka yang merantau di ibukota juga ikut berkumpul di sana, padat memenuhi setiap lorong dan jeda yang ada.

Di antara mereka, beliau hadir dengan gagah tanpa ragu. Tubuhnya tegap mengenakan kemeja putih dengan dasi kelabu, serasi dengan setelan jasnya yang masih baru. Untuk menyempurnakan penampilannya, khusus dikenakanlah sepatu kesayangannya, sepatu yang hanya biasa beliau pakai di momen tertentu seperti hari itu: hari di mana semua orang datang untuk bertemu.

Kami adalah salah satu dari yang datang dari jauh untuk berjumpa. Tapi karena hari itu hari istimewa, pemandangannya serba berbeda. Kami tidak lagi menemukan beliau duduk di teras depan sambil menikmati suara burung seperti biasa. Ratusan pot tanaman hijau kesayangannya kini juga makin semarak dengan berbagai bunga yang sebelumnya tidak pernah ada. Saya sebenarnya sedikit tidak terbiasa.. Apalagi, saat masuk pun pagar sudah terbuka. Padahal biasanya kami harus mengetuk pintu membangunkan tukang becak yang sering parkir di garasi depan untuk berjaga.

Tapi karena hari itu hari istimewa, semua memang menjadi tidak sama. Saat saya menyapa, perbincangan yang ada tidak lagi berwujud bahasa. Segalanya muncul berupa memori yang terbayang di depan mata.

Dari percakapan singkat di telepon setiap hari raya hingga update berita sepak bola.

Dari ketika beliau bersemangat membawa saya menonton wayang hingga saat terakhir berlibur harus banyak beristirahat berkompromi dengan usia.

Seperti berkelana di mesin waktu tapi ditampar realita.

Seperti mengucapkan sampai jumpa,

tapi tak tahu kapan lagi bertemunya.

______________________________________________________
salam "sampai jumpa" untuk Mbah Kung :) 
Kenangan 12 November 2014
Solo, Jawa Tengah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

What do you think

S aya baru sadar kalo saya ternyata sangat gampang kebawa trend. No, no, I don't mean fashion and those kinda stuffs. What I mentioned here is: cyber-social network . Looks familiar, huh? Zaman sekarang rasanya eksistensi orang nggak cuma diitung dari panjangnya meja kantin yang mereka butuhin buat makan bareng se-geng nya ( notes: no offense ), atau banyaknya vote dari adek kelas pas polling majalah sekolah "kakak ter-...". Keberadaan di dunia maya juga dipertanyakan. Coba deh, kalo ada yg kenalan, pasti nggak berapa lama bakal nanya: " punya facebook nggak? " atau " ada msn nggak? " Jawaban negatif dari pertanyaan ini bakal mengundang pemikiran yang setara dengan: " hari gini nggak punya handphone? " Pergaulan sekarang udah meluas. Dulu orang cari temen lewat surat, cari sahabat pena. Beberapa waktu kemudian, HP udah jadi pegangan wajib bahkan merambah ke babysitter dan anak TK. Pacaran pun dimulai dengan kenalan lewat sms-an. Seka...

Drama queen

Beberapa waktu yang lalu, temen sekelas saya, Nia, membuat notes di Facebook. Maaf saya nggak punya url nya, tapi ini sedikit repost dari apa yang dia tulis di situ. "Kita itu aneh, kita nggak suka untuk jadi sedih tapi kita menikmati itu. Bisa dibilang kita sering memanjakan sisi melankolis kita dan mendramatisasi semuanya. Pas kita abis putus, kita justru sengaja ngeliatin foto-foto bareng mantan pacar, ngeliatin barang kenangan, dengerin lagu mellow. Kita ngelakuin hal yang kita tau bakal bikin kita tambah sedih, tapi tetep aja kita ngelakuin hal itu. Kita menikmatinya !" Yaa begitulah kira-kira beberapa kalimat yang merangkum notes tersebut. Nggak persis sama sih, tapi intinya begitu. Dan kemaren, saya abis ngobrol panjang dengan temen dekat saya. Dari dulu saya emang nggak punya kemampuan cukup untuk nahan air mata saya, jadi suatu kali ketika akhirnya saya nggak bisa nahan emosi, temen saya itu nanya "kenapa lo harus nangis kalo bikin lo tambah sedih, ...

Menantang Hujan

Selama ini ia benci Hujan. Ia beli payung berbagai ukuran, jas hujan dengan warna menawan,  sepatu anti air dengan kualitas tak diragukan. Lalu kemudian Hujan tidak datang selama beberapa pekan. Sial, lalu apa gunanya semua perlengkapan? Ia pikir ia benci Hujan. Memang, tapi bukan dalam bentuk "tanpa pertemuan". Ia perlu Hujan. Untuk dilawan. _____________________________________ Kebon Sirih, 27 Februari 2015 di penghujung musim penghujan