Langsung ke konten utama

Sapaan Malam

"Permisi", suara lirih memecah keheningan. Tuan Bulan mengintip dari balik malam, heran. Dilihatnya sesosok bayangan, sedikit familiar tapi masih diraba-raba dalam ingatan.

Perlahan Tuan Bulan memastikan pengelihatannya. Di balik kaca kecil pondok sederhana, terduduklah sang pemilik suara. Tuan Bulan terkejut bukan main mengenalinya. Gadis Kecil di pinggir jendela! Gadis Kecil, yang kini sudah dewasa!

Tidak bertemu selama lima tahun tentu bukan masa yang sebentar. Tuan Bulan sadar, bertanya apa kabar hanyalah basa basi yang cuma membuat semua makin pudar. Terlalu banyak senyum terpaksa yang akan diumbar. Terlalu banyak kebencian yang menunggu untuk disebar. Dari pengamatannya, Tuan Bulan yakin sekarang pasti Gadis Kecilnya sedang menghadapi badai yang besar. Makanya Ia pun hanya membelainya hangat dalam cahaya redup yang terpendar.

Mata di hadapannya sebenarnya tidak pernah berubah. Membulat dan bersinar, tapi kini semakin lemah.Mungkin hidup terlalu keras menempanya hingga lelah. Atau, angin meniupnya terlalu kencang hingga pilihan satu-satunya hanya berpasrah? Entahlah.....

Kepala Gadis Kecil menengadah, memandang langit di atasnya. Menelusuri garis semesta. Mengurutkan jejak benda angkasa. Tak lama ia pun menggeleng, menghancurkan kristal kaca yang terbentuk di matanya karena pantulan cahaya.

"Tidak ada. Sudah tidak ada," kata Tuan Bulan perlahan.

Gadis Kecil tersenyum kecil dan berbisik lirih, "malam juga bisa kesepian ya, Tuan?"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemanasan

Sebentar lagi kuartal kedua akan dimulai. Saya lupa saya punya ruang ini, tempat di mana saya bicara sendiri dengan sedikit berharap ada pembaca mengerti tapi pura-pura tidak peduli dan tidak perlu dikonfrontasi. Ironis memang; sengaja membuka eksistensi tapi tidak percaya diri, memilih untuk ditemukan dalam ranah maya tapi memilih berkisah dalam metafora. Lalu kemudian saya menulis ini, memilih cara begini dengan membagi prosa dalam spasi menjadi seakan puisi. Padahal, isinya hanya rangkaian kalimat tak berinti, tumpahan kata yang sulit berhenti, tapi terlalu sayang untuk disimpan dalam hati. ------------------------------------ Dua hari sebelum kuartal satu ditutup Rumah, 2016

Menantang Hujan

Selama ini ia benci Hujan. Ia beli payung berbagai ukuran, jas hujan dengan warna menawan,  sepatu anti air dengan kualitas tak diragukan. Lalu kemudian Hujan tidak datang selama beberapa pekan. Sial, lalu apa gunanya semua perlengkapan? Ia pikir ia benci Hujan. Memang, tapi bukan dalam bentuk "tanpa pertemuan". Ia perlu Hujan. Untuk dilawan. _____________________________________ Kebon Sirih, 27 Februari 2015 di penghujung musim penghujan

Teruntuk Rumput

Teruntuk Rumput di sana, semoga tetap sedia untuk berjalan bersama. Salam, Embun ______________________________________________ Pada suatu hari Rumah, 24 Januari 2015