Langsung ke konten utama

Yang Terbaik, Katanya

Satu lagi berita kehilangan membangunkan saya, kali ini di akhir minggu penghujung tahun.  Berita ini satu rangkaian dengan berita berantai yang mengisi beberapa bulan terakhir. Yang pergi kali ini adalah sesosok wanita tangguh yang saya kenal sejak sekitar 8-9 tahun yang lalu, yang hanya bertemu lagi sekali dua kali sejak saya harus melepas seragam putih biru muda.

Beliau mungkin bukan orang yang paling lembut yang saya kenal, mengingat nada bicaranya yang tegas dan begitu lugas. Tidak sedikit yang kena semprot ketika kegiatan pembelajaran di kelas dan juga selama kegiatan pramuka.. Bahkan begitu pun masih sifatnya yang galak, yang katanya masih sempat memarahi dokter dan perawatnya. Namun, di balik itu semua, saya melihat ada sosok keibuan yang begitu kuat dalam dirinya. Kepeduliannya mungkin diartikulasikan dengan nada yang keras, tapi kebaikannya selalu membekas.

Satu hal yang selalu saya ingat adalah caranya memanggil saya. Beliau suka sekali menyanyikan nama saya dengan nada lagu lama (yang sampai sekarang saya nggak tau itu lagu apa dan siapa penyanyi aslinya). Setiap kali bertemu, beliau mengungkit kebiasaan buruk saya di bangku menengah. Siapa sangka beliau tau hal itu? Hal ini terus berlanjut sampai saya sudah masuk ke perguruan tinggi. Pertanyaannya selalu sama: "masih suka menangis ga, Tik?"

Sayangnya, panggilan dan pertanyaan yang saya rindukan itu tidak muncul ketika dua minggu yang lalu bertemu. Beliau tidak terlihat seperti yang selama ini saya kenal. Sifat enerjik yang beliau miliki selama ini seakan tersedot oleh tempat tidurnya. Nada tegas masih terdengar saat menyapa, tapi dalam beberapa saat semua berubah mencekam. Rasa sakit yang tak tertahankan sepertinya mulai menyerang, membuatnya merintih dan terus menerus berdoa lirih.

Apa lagi yang bisa saya lakukan? Saya gemetar. 
Mengingatnya pun saya merinding.

Begitulah. Kali terakhir saya berinteraksi dengan beliau mungkin bukan dikemas dalam hari yang indah dan ceria. Tapi kalau kata sahabat saya, setidaknya beliau tau bahwa kami, atas nama para muridnya, hadir dan peduli. Selain itu, beliau juga harus tau bahwa kami selalu mendoakan yang terbaik untuk beliau. Yahh.. Mungkin jawabannya adalah ini, bahwa menurut-Nya beginilah yang terbaik. Agar beliau terbebas dari sakit dan bahagia selamanya :)

Bu, kalau saya menangis karena Ibu, masih termasuk cengeng ga? :')


-didedikasikan untuk sosok guru yang begitu saya hormati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

What do you think

S aya baru sadar kalo saya ternyata sangat gampang kebawa trend. No, no, I don't mean fashion and those kinda stuffs. What I mentioned here is: cyber-social network . Looks familiar, huh? Zaman sekarang rasanya eksistensi orang nggak cuma diitung dari panjangnya meja kantin yang mereka butuhin buat makan bareng se-geng nya ( notes: no offense ), atau banyaknya vote dari adek kelas pas polling majalah sekolah "kakak ter-...". Keberadaan di dunia maya juga dipertanyakan. Coba deh, kalo ada yg kenalan, pasti nggak berapa lama bakal nanya: " punya facebook nggak? " atau " ada msn nggak? " Jawaban negatif dari pertanyaan ini bakal mengundang pemikiran yang setara dengan: " hari gini nggak punya handphone? " Pergaulan sekarang udah meluas. Dulu orang cari temen lewat surat, cari sahabat pena. Beberapa waktu kemudian, HP udah jadi pegangan wajib bahkan merambah ke babysitter dan anak TK. Pacaran pun dimulai dengan kenalan lewat sms-an. Seka

Tour de Java

Akhirnya, I'm home! Ternyata kadang-kadang rumah bisa jadi sangat menyenangkan ya. Hehe. Jadi ceritanya saya baru pulang dari Jawa Tengah nih, niatnya kan cuma ke Solo menengok eyang, tapi ternyata perhentiannya banyak banget. Jadi di hari pertama saya berangkat dari Jakarta emang udah agak siang, jam 1an gitu. Saya sekeluarga emang udah biasa bermobil ke Solo, tapi untuk yang ini baru pertama kalinya kita lewat jalur selatan. Ternyata jalur selatan tuh beda banget sama Pantura. Jalannya kelok-kelok, bikin mual. Jarang ada toilet lagi, mana kalo gelap tuh ya beneran gelap dan berbahaya. Jadi yaaa.. susah deh pokoknya. Perhentian pertama kita adalah Purwokerto . Kami baru sampe hotel jam setengah 2an pagi setelah melewati perjalanan yang panjang sekali. Ngantuk banget, mual, bokap ngomel-ngomel pula. Lengkap deh capeknya. Niatnya siangnya kita mau ke Baturaden , tapi karena ternyata nggak sedekat yang kami kira, akhirnya abis breakfast kita langsung checkout dan menuju perhentian ke

Drama queen

Beberapa waktu yang lalu, temen sekelas saya, Nia, membuat notes di Facebook. Maaf saya nggak punya url nya, tapi ini sedikit repost dari apa yang dia tulis di situ. "Kita itu aneh, kita nggak suka untuk jadi sedih tapi kita menikmati itu. Bisa dibilang kita sering memanjakan sisi melankolis kita dan mendramatisasi semuanya. Pas kita abis putus, kita justru sengaja ngeliatin foto-foto bareng mantan pacar, ngeliatin barang kenangan, dengerin lagu mellow. Kita ngelakuin hal yang kita tau bakal bikin kita tambah sedih, tapi tetep aja kita ngelakuin hal itu. Kita menikmatinya !" Yaa begitulah kira-kira beberapa kalimat yang merangkum notes tersebut. Nggak persis sama sih, tapi intinya begitu. Dan kemaren, saya abis ngobrol panjang dengan temen dekat saya. Dari dulu saya emang nggak punya kemampuan cukup untuk nahan air mata saya, jadi suatu kali ketika akhirnya saya nggak bisa nahan emosi, temen saya itu nanya "kenapa lo harus nangis kalo bikin lo tambah sedih,