Langsung ke konten utama

Selera yang Salah (?)

"Kok pada suka makanan ini, sih? Kan nggak enak banget!"
"Orang yang nggak suka ini tuh aneh, kan bagus.."
..
Siapa yang nggak pernah melewati debat kusir kayak contoh di atas? Saya sering banget, nggak di rumah, nggak sama teman-teman. Pasti ada aja yang adu argumen tentang sesuatu yang disuka dan tidak disuka, yang nggak jarang bernada ofensif dan dibalas dengan defensif. Diskusinya selalu panjang, nggak jelas, dan nggak pernah ada kata setuju. Malah kadang-kadang berakhir dengan nggak enak dan harus ada yang mengalah untuk rela disampah-sampahin. Rasanya gemes banget untuk bisa menetralisasi perdebatan nggak penting ini, tapi ya udah saya tumpahkan di sini aja deh.

Ngomongin selera nggak pernah ada habisnya. Setiap orang punya preferensi yang nggak harus semua orang mengerti. Ada yang cinta mati sama artis korea, ada yang mending mati daripada nonton mereka. Ada yang suka film berat dan mikir, ada yang sukanya film drama ringan daripada ketiduran di bioskop. Yaudahlah, emang sukanya beda kenapa harus jadi masalah? Mau dijelasin kayak gimana, mereka yang berbeda selera sama kita nggak akan kemudian berpindah dan jadi suka hal yang sama. 

Selera itu relatif. Siapa kita yang bisa menyatakan selera bagus dan jelek? Selera tinggi dan rendah? Kita ngomong begitu karena kita berada dalam kelompok yang sama. Kita cuma berbeda, tapi bukan berarti mereka lebih rendah dan tidak lebih bagus. Mungkin, kita yang belum bisa menemukan hal spektakuler yang mereka temukan. Atau mungkin, kita terlalu gengsi untuk mengakuinya?

Satu hal lagi, selera juga bukan logika yang bisa dinilai benar salah. Ini semua tentang subjektivitas, bukan hal absolut yang jelas batasnya. Satu-satunya yang salah menurut saya, adalah mereka yang menganggap dirinya yang paling benar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemanasan

Sebentar lagi kuartal kedua akan dimulai. Saya lupa saya punya ruang ini, tempat di mana saya bicara sendiri dengan sedikit berharap ada pembaca mengerti tapi pura-pura tidak peduli dan tidak perlu dikonfrontasi. Ironis memang; sengaja membuka eksistensi tapi tidak percaya diri, memilih untuk ditemukan dalam ranah maya tapi memilih berkisah dalam metafora. Lalu kemudian saya menulis ini, memilih cara begini dengan membagi prosa dalam spasi menjadi seakan puisi. Padahal, isinya hanya rangkaian kalimat tak berinti, tumpahan kata yang sulit berhenti, tapi terlalu sayang untuk disimpan dalam hati. ------------------------------------ Dua hari sebelum kuartal satu ditutup Rumah, 2016

Menantang Hujan

Selama ini ia benci Hujan. Ia beli payung berbagai ukuran, jas hujan dengan warna menawan,  sepatu anti air dengan kualitas tak diragukan. Lalu kemudian Hujan tidak datang selama beberapa pekan. Sial, lalu apa gunanya semua perlengkapan? Ia pikir ia benci Hujan. Memang, tapi bukan dalam bentuk "tanpa pertemuan". Ia perlu Hujan. Untuk dilawan. _____________________________________ Kebon Sirih, 27 Februari 2015 di penghujung musim penghujan

Teruntuk Rumput

Teruntuk Rumput di sana, semoga tetap sedia untuk berjalan bersama. Salam, Embun ______________________________________________ Pada suatu hari Rumah, 24 Januari 2015